Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Kawasan Lindung Hidrologis Hulu DAS

Sumber Gambar :

 

 

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Kawasan Lindung Hidrologis Hulu DAS

Oleh : Dody Iskandar

Salah satu fungsi kawasan lindung seperti hutan lindung atau kawasan resapan air yang ada di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah memberikan perlindungan hidrologis bagi kawasan bawahannya. Suatu kawasan dikatakan memiliki fungsi lindung hidrologis jika kawasan tersebut dapat menjalankan perannya sebagai pencegah terjadinya erosi, sedimentasi, dan menjaga fungsi hidrologis tanah untuk menjamin ketersediaan unsur hara tanah, air tanah, dan air permukaan. Dengan meningkatkan simpanan air tanah (dengan cara infiltrasi) dan menurunkan air larian, maka akan terpelihara aliran mantap atau baseflow pada saat musim kemarau, mengurangi erosi akibat air larian sehingga mengurangi sedimentasi di badan sungai, dan potensi banjir pada saat musim hujan menjadi lebih kecil karena daya tampung badan sungai tetap terpelihara serta debit sungai lebih stabil.

Faktor apa saja yang berpengaruh pada suatu kawasan dalam memerankan fungsi lindung hidrologis tersebut ?

Faktor-faktor yang teridentifikasi sangat mempengaruhi besarnya infiltrasi air di antaranya curah hujan, kelembaban tanah, tekstur dan struktur tanah, tutupan lahan (landuse) dan kondisi morfologi lahan. Hujan sebagai penyedia utama air, dimana makin besar curah hujannya makin banyak pula potensi air yang dapat berinfiltrasi. Hujan pada batas intensitas tertentu masih efektif terserap dalam tanah, namun pada intensitas yang sangat besar dapat mempercepat dicapainya batas kejenuhan, sehingga air yang ada sudah tidak dapat terserap lagi, dan akan mengisi relung-relung (legok) tanah untuk selanjutnya menjadi air larian bila relung-relung tersebut telah penuh terisi. Intensitas hujan yang tinggi juga akan memperbesar gaya pukulan terhadap butir-butir tanah halus di permukaan teratas sehingga akan terlempar dan mengisi pori-pori tanah yang selanjutnya akan mengurangi kapasitas infiltrasi tanah (terjadi pemampatan).

Tekstur tanah yang terbentuk dari kombinasi ukuran butir tanah, butir berukuran pasir akan menyediakan rongga antar butir yang besar yang membuat laju infiltrasi lebih cepat dibandingkan pada tanah lempung, apalagi yang bersifat liat. Tajuk penutup yang rapat dapat mengurangi air efektif yang sampai ke permukaan tanah karena proses intersepsi. Kemiringan lereng yang tinggi akan mengurangi waktu kesempatan air untuk berinfiltrasi, dan lebih besar potensinya untuk menjadi air larian. Setelah air berinfiltrasi di lapisan tanah dan memasuki lapisan batuan, maka batuan yang memiliki tingkat permeabilitas yang besar akan meneruskan air tersebut masuk ke kedalaman melalui proses perkolasi dan mengisi lapisan akifer untuk selanjutnya akan tersimpan sebagai air tanah. Suatu DAS dengan rapat sungai yang tinggi, berarti makin baik sistem pengalirannya, sehingga makin kecil potensi air untuk tersimpan dalam tanah.

Perkembangan erosi sendiri sebagaimana yang dilakukan oleh air hujan dimulai dari erosi percikan oleh butir-butir hujan, lalu erosi lembar oleh air larian di permukaan, yang dapat berkembang lebih dalam menjadi erosi alur dan erosi parit. Sedangkan di sungai terjadi erosi tebing sungai. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya potensi erosi di antaranya yang utama adalah intensitas hujan, kemiringan lereng, sifat kepekaan tanah terhadap erosi, tutupan lahan, kerapatan sungai dan bentuk wilayah topografi. Pada tutupan lahan, makin terbuka lahannya, maka makin peka terhadap potensi erosi terutama oleh air.

Potensi banjir dapat ditandai oleh debit air larian, makin kecil debitnya maka makin kecil pula potensi banjirnya. Tentu perlu ada keseimbangan antara pengurangan debit air larian sebagai usaha pencegahan banjir dengan kebutuhan air larian yang bermanfaat untuk pengisian sungai dalam memenuhi kebutuhan kegiatan di bawahnya. Sangat mungkin untuk terjadi bahwa makin tinggi nilai fungsi lindung pencegahan banjir akan membuat makin tinggi pula defisit air permukaan, namun harus diakui bahwa ketersediaan air permukaan akan membuat biaya untuk memenuhi kebutuhan air lebih murah dibandingkan dengan pemenuhan air dari air tanah. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi besarnya debit air larian di antaranya adalah curah hujan, tutupan lahan, kemiringan lereng, bentuk wilayah DAS, serta kerapatan sungai wilayah DAS. Curah hujan yang besar akan menyediakan air baku yang berpotensi untuk menjadi air larian. Namun yang lebih berpengaruh adalah intensitas curah hujannya, makin tinggi kederasan hujannya akan makin tinggi pula potensi air lariannya. Pada hujan yang ringan maka akan lebih cenderung untuk terserap tanah dibandingkan hujan yang deras, walaupun jumlah total curah hujannya sama. Pada lahan yang terbuka akan lebih tinggi koefisien air lariannya dibandingkan pada lahan yang lebih tertutup. Pada lahan perkotaan dimana tanahnya tertutup oleh aspal jalan dan bangunan praktis tidak terjadi inflitrasi, dan sepenuhnya air yang sampai ke permukaan menjadi air larian. Pada lereng yang terjal akan kecil kesempatannya untuk berinfiltrasi, dan hal tersebut akan meningkatkan air larian.

Berikut akan dibahas satu persatu beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja suatu kawasan dalam memerankan fungsi lindung hidrologis tersebut.

  1. Curah hujan

Makin tinggi curah hujannya maka makin besar pula potensi air yang tersedia untuk berinfiltrasi dan juga untuk menjadi air larian. Jika pada suatu wilayah infiltrasinya yang besar maka akan mengurangi air larian, sehingga akan meningkatkan potensi simpanan air tanah dan mengurangi potensi banjir. Sebaliknya jika infiltrasinya yang kecil, maka akan dimanfaatkan untuk menaikkan air larian, menyebabkan potensi simpanan air tanah jadi berkurang dan akan meningkatkan potensi banjir.

  1. Intensitas hujan

Berbeda dengan peran curah hujan yang menyediakan air baku untuk berinfiltrasi, maka intensitas hujan lebih berperan dalam intersepsi, keefektifan penyerapan oleh tanah, dan gaya pukulan terhadap permukaan tanah. Untuk intersepsi ditentukan oleh jenis tutupan lahan. Dalam hal keefektifan penyerapan air oleh tanah, maka intensitas hujan yang kecil akan lebih efektif, sampai pada batas laju curah hujan (intensitas) sama dengan laju infiltrasi. Untuk gaya pukulan terhadap permukaan tanah, makin besar intensitas hujannya makin besar pula daya rusak terhadap tanah sehingga terjadi degradasi kemampuan tanah dalam infiltrasi. Selain itu intensitas hujan yang tinggi juga memberikan peningkatan potensi erosi melalui daya tumbuk terhadap tanah, yang menyebabkan tanah terlepas dan terurai (erosi percikan), untuk kemudian disapu oleh aliran larian (erosi lembar) bila lahan miring. Pada intensitas hujan yang rendah, dengan tutupan lahan berupa hutan atau perkebunan, potensi erosi bisa jadi sudah sangat berkurang karena peran intersepsi tajuk, sehingga yang jatuh ke tanah tinggal sedikit.

Terhadap potensi banjir, maka makin tinggi intensitas curah hujannya akan makin tinggi pula debit air lariannya sehingga potensi banjir akan makin besar.

  1. Tutupan lahan

Hutan yang memiliki seresah yang masih tebal dan semak di bawahnya, masih dapat melakukan infiltrasi secara efektif pada intensitas hujan yang tinggi, sehingga akan mengurangi air larian. Adapun untuk perkebunan, walaupun memiliki tajuk yang sama rapatnya dengan hutan, namun karena tidak didukung oleh seresah dan semak yang serapat hutan, maka akan lebih mudah terjadinya air larian pada intensitas hujan yang tinggi. Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil penelitian Widianto dkk atas fungsi hidrologis kebun kopi, laju infiltrasi kebun kopi pada umur 10 tahun yang tutupan kanopinya menyamai hutan ternyata hanya sebesar 0,8 kali dibandingkan hutan asli yang dijadikan sebagai kontrol (Widianto, dkk; 2004). Adapun untuk tanaman pertanian lahan kering kondisinya lebih buruk lagi. Tutupan lahan yang rapat juga dapat mengurangi potensi erosi, baik dalam rangka mengurangi pengaruh intensitas curah hujan yang dapat menyebabkan erosi percikan maupun penahan laju air larian di permukaan yang dapat menyebabkan erosi lembar.

Kinerja tutupan lahan untuk melindungi dari potensi erosi bervariasi terhadap kemiringan. Pada lahan hutan selain tajuk rapat yang dapat menahan air hujan dari atas melalui proses intersepsi, terdapat juga semak dan seresah yang dapat menahan laju air larian dan menahan tanah dari pengangkutan. Selain itu semak dan seresah dapat menahan butiran air yang tertampung dan terkumpul di daun dan jatuh menetes, daya rusaknya lebih besar dari tetesan air hujan karena massa airnya yang lebih berat. Ini berbeda dengan perkebunan yang lebih jarang semak dan seresahnya, sehingga pada perkebunan erosi oleh air larian masih besar. Laju air larian makin diperbesar oleh kemiringan lereng yang makin curam.

Untuk pertanian tanaman pangan yang lebih terbuka, walaupun perlindungan atas percikan air hujan lebih buruk dibandingkan hutan dan perkebunan, namun pada lahan datar belum terjadi pengangkutan. Yang terjadi adalah sedimentasi kembali, dan hal tersebut akan mengurangi kemampuan lahan untuk infiltrasi. Baru pada lahan yang lebih miring pengangkutan oleh air larian menjadi sangat berarti, sehingga potensi erosinya lebih besar dibandingkan hutan dan perkebunan.

Harus diingat pula bahwa pada tutupan lahan berupa vegetasi, terjadi proses evapotranspirasi (ET) sehingga akan ada sejumlah air (baik air hujan dan lembab tanah) yang teruapkan ke atmosfer dan akan mengurangi potensi infiltrasi air, bahkan dapat mengurangi sediaan air dalam tanah. Kemampuan suatu tanaman melakukan evapotranspirasi bisa dilihat dari angka Potensial Evapotranspirasi (PET).

  1. Kemiringan lereng

Kemiringan lereng berperan dalam mendorong air larian untuk meluncur ke bawah. Makin curam lerengnya makin cepat luncuran airnya, dan makin besar pula daya angkut dan daya kikisnya. Demikian pula makin panjang lereng yang ditempuh, makin memberikan kesempatan penambahan kecepatan luncur air lariannya. Sebaliknya untuk kesempatan berinfiltrasi, makin miring lerengnya, makin kecil potensi untuk berinfiltrasi.

  1. Tekstur tanah

Tekstur tanah memperlihatkan daya serap dan potensi kelembaban tanah. Makin kasar ukuran butirnya, maka sirkulasi air makin baik, artinya air yang terkandung dalam tanah makin cepat tersalurkan, sehingga potensi kelembabannya makin kecil. Kelembaban yang makin kecil dan tekstur yang makin kasar menyebabkan daya serap terhadap air makin baik. Makin ke bentuk liat daya serapnya makin jelek. Sifat tekstur tanah terhadap kelembaban diperlihatkan dalam kurva kelembaban tanah  (Gambar 1). Kapasitas lapang (Field Capacity, FC) yang merupakan keadaan kelembaban tanah pada 2 atau 3 hari setelah hujan memperlihatkan kenaikan yang hampir linier hingga tekstur lempung liat, untuk kemudian melandai hingga liat.

  1. Kepekaan jenis tanah terhadap erosi

Karena tekstur, struktur, kandungan organik yang membentuk tanah serta permeabilitas tanah yang berbeda-beda untuk tiap jenis tanah, maka tanggapan tiap jenis tanah terhadap erosi akan berbeda-beda pula. Tanah dengan butiran halus yang lepas-lepas akan mudah terangkut oleh air larian atau mudah terlempar oleh butiran hujan. Tanah yang liat lebih sukar tererosi. Tanah yang gembur lebih mudah meresapkan air sehingga potensi air lariannya jadi menurun. Sifat kepekaan tanah terhadap erosi bisa dilihat dari erodibilitas tanah.

  1. Jenis batuan

Tahap selanjutnya setelah air berinfiltrasi adalah perkolasi hingga ke lapisan batuan. Apabila batuan di bawah lapisan tanahnya memiliki permeabilitas yang kecil, maka air hanya akan menjenuhi lapisan tanah di atasnya dan lebih sedikit menambah cadangan air tanah dalam lapisan akifer. Dalam hal ini peran batuan dalam fungsi pencagaran air sangat menentukan.

  1. Bentuk DAS

Potensi banjir bukan saja ditentukan oleh jumlah curahan air hujan, akan tetapi bisa juga disebabkan oleh bergabungnya beberapa debit anak sungai yang tiba secara bersamaan walaupun masing-masing anak sungai membawa debit yang kecil. Akumulasi tersebut dapat meningkatkan debit sungai utama hingga melampaui daya tampung sungainya.

Andaikan hujan terjadi merata di suatu wilayah DAS, maka untuk bentuk DAS yang radial akan menghasilkan debit yang paling tinggi karena debit puncak tiap anak sungai secara bersamaan akan bergabung di sungai utama. Sedangkan untuk bentuk DAS paralel, meskipun terjadi pertemuan dua cabang di sungai utama, namun debit puncak masing-masing sub anak sungai tersebut tidaklah bergabung bersamaan, dimana sub anak sungai yang di sebelah hilir akan lewat paling dulu, kemudian diikuti oleh sub anak sungai yang lebih atas lagi. Untuk bentuk DAS bulu burung lebih kecil lagi, karena tidak ada penggabungan secara bersamaan dari tiap anak sungai.

 

  1. Kerapatan Sungai DAS

Kerapatan sungai suatu DAS menyatakan sistem pengaliran DAS tersebut. Makin rapat sungainya maka makin bagus sistem pengalirannya, sehingga kesempatan untuk berinfiltrasi menjadi lebih kecil. Namun penilaian tersebut harus melihat dulu lebih jauh relasi yang diberikan oleh aliran air sungai terhadap air tanah. Memang pada saat hujan, sungai yang rapat akan segera mengalirkan air yang tertampung menuju hilir, namun khususnya sungai yang bersifat influen justru memberikan masukan air untuk menjadi air tanah (Gambar 3).

Adapun pola kerapatan sungai dalam penilaian potensi erosi adalah bahwa hal tersebut secara geomorfologis menggambarkan tingkat ketahanan batuan yang ada di wilayah DAS tersebut terhadap erosi air. Sungai yang terbentuk merupakan hasil torehan air terhadap batuan pada masa lampau hingga sekarang, dan menunjukkan tingkat erosi yang telah terjadi. Makin rapat sungainya bisa diartikan makin mudah batuan tersebut tererosi, walaupun dalam jangka waktu yang lama. Sebaliknya makin renggang sungainya menunjukkan wilayah tersebut didominasi batuan yang lebih sulit tererosi.

  1. Bentuk wilayah topografi

Pengaruh bentuk wilayah topografi terhadap penilaian potensi erosi adalah bahwa makin ekstrim bentuk topografinya (berbukit, bergunung), maka secara alami akan makin besar pula intensitas erosi yang terjadi terhadapnya, untuk kemudian menuju kepada kondisi keadaan yang stabil, yaitu menjadi datar. Pada keadaan datar, yang terjadi bukan lagi erosi, namun lebih kepada sedimentasi. Hal tersebut terlihat pada mekanisme erosi, dimana pada lereng yang curam kecepatan aliran air permukaannya lebih cepat dan membawa daya erosi yang lebih tinggi dibandingkan pada lereng yang lebih landai, dan pada lahan yang datar aliran air sudah berhenti, sehingga memberikan kesempatan pada partikel-partikel tanah yang tertransportasi untuk mengendap.

DAFTAR PUSTAKA

1.Asdak, Chay; Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai; Gadjah Mada University Press; Jogjakarta; 2002

2.Howard, Arthur D. And Irwin R.; Geology in Enviromental Planning; Mc.Graw-Hill; 1978

3.Iskandar, Dody; Arahan Pemanfaatan Lahan Kawasan Hulu Daerah Aliran Sungai berdasarkan Penilaian Kinerja Fungsi Lindung di Wilayah Kabupaten Subang (Tesis); Institut Teknologi Bandung; 2007

4.Kodoatie, Robert J., dan Roestam S.; Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu; Penerbit Andi; Jogjakarta; 2005

  1. Kodoatie, Robert J.; Pengantar Hidrogeologi; Penerbit Andi; Jogjakarta; 1996

6.Lee, Richard; Hidrologi Hutan (terjemahan); Gadjah Mada University Press; 1990

7.Noordwijk, Meine V. dkk.; Peranan Agroforestri dalam Mempertahankan Fungsi Hidrologi DAS (Makalah); Agrivita Vol. 26 No. 1 Maret 2004

8.Sosrodarsono, Suyono dan Kensaku Takeda; Hidrologi untuk Pengairan; Pradnya Paramita; Jakarta; 2006

  1. Widianto, Didik Suprayogi dkk; Alih Guna Lahan Hutan menjadi Lahan Pertanian : Apakah Fungsi Hidrologis Hutan Dapat Digantikan Sistem Kopi Monokultur ?(Makalah); Agrivita Vol. 26 No. 1 Maret 2004
  2. Wilson, E.M.; Hidrologi Teknik (terjemahan); Penerbit ITB; Bandung; 1990

Share this Post