PROSPEK PENGEMBANGAN GEOWISATA MELALUI PEMBANGUNAN TAMAN BATU

Sumber Gambar :

PROSPEK PENGEMBANGAN GEOWISATA MELALUI PEMBANGUNAN TAMAN BATU

( oleh : Tata Henda )

 

Geowisata adalah kegiatan pariwisata yang memanfaatkan aspek geologi sebagai daya tariknya, yaitu jenis bebatuan, fosil, bentang alam, proses geologi atau yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya geologi semisal pertambangan. Beberapa lokasi potensial geowisata diantaranya sudah dikenal sebagai lokasi pariwisata umum seperti wisata gunung api, air terjun, pantai, gua-gua batu gamping, lembah, ngarai dan lain lain, akan tetapi belum tersosialisasikan informasi penting yang ada di tempat-tempat tersebut seperti proses kejadiannya menurut ilmu pengetahuan kebumian (geologi). Didalam konsep geowisata, informasi ini sangat penting untuk disampaikan kepada para wisatawan, sehingga geowisata memiliki nilai tambah berupa aspek pendidikan dan pengetahuan yang menarik. Dalam hal ini potensi keragaman geologi akan sangat menentukan pengembangan geowisata.

Aneka ragam batuan di Banten memiliki daya tarik tersendiri dan terbukti bisa menjadi komoditas unggulan yang telah menjelajah pasar dalam dan luar negeri, contohnya  seperti kalimaya (opal) dan batusempur atau fosil kayu yang sudah sejak beberapa dekade terakhir dieksploitasi dalam jumlah cukup besar. Apabila kalimaya dikenal mendunia sebagai salah satu batu permata tercantik berharga tinggi, maka fosil kayu meskipun dikenal secara terbatas oleh kalangan tertentu namun memiliki keunikan dan beberapa tahun terakhir mulai banyak dikenal dari pemanfaatan hasil olahannya yang sangat beragam mulai dari asesoris berukuran kecil untuk perhiasan, alat rumah tangga eksklusif, pajangan hiasan rumah eksotis hingga penghias taman yang berukuran besar sampai sangat besar.

Keterdapatan kalimaya tersebar di empat kecamatan di Kabupaten Lebak, yaitu Maja, Curugbitung, Sajra dan Cimarga. Sedangkan batusempur tersebar di banyak lokasi di Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang hingga sebagian wilayah selatan Kabupaten Tangerang. Adapun secara geologi tempat kedudukan mineral kalimaya sangat terbatas, yaitu berada pada formasi batuan yang berumur Pliosen atau sekitar 7 – 2 juta tahun yang lalu (Skala Waktu Geologi) yaitu Formasi Genteng. Akan halnya batusempur atau fosil kayu terkersikkan tersebar di beberapa formasi batuan, terutama berumur Miosen Bawah hingga Pliosen atau sejak sekitar 25 juta hingga 2 juta tahun yang lalu. Formasi-formasi batuan yang dimaksud berurutan dari yang berumur paling tua yaitu : Formasi Cimapag yang tersebar di bagian selatan Kabupaten Lebak dan Pandeglang; Formasi Honje yang terdapat di Kecamatan Cibaliung, Cimanggu, Sumur dan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang; Formasi Cikasungka yang tersebar terbatas di bagian selatan Kabupaten Lebak; dan Formasi Genteng yang tersebar luas mulai dari Kabupaten Lebak, dan sebagian wilayah selatan Kabupaten Taangerang. Selain itu batusempur juga tersebar pada endapan alluvium, terutama dijumpai di bagian selatan Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang.

Diantara beberapa formasi batuan tersebut, Formasi Genteng yang menutupi sekitar 75.000 ha. wilayah Banten merupakan tempat terdapatnya fosil kayu yang paling banyak. Penyebaran Formasi Batuan ini memanjang mulai dari Kecamatan Gunungkencana, Kecamatan Cirinten, bagian utara Kecamatan Bojongmanik, bagian selatan Kecamatan Leuwidamar, Kecamatan Cimarga, Kecamatan Sajira, Kecamatan Curugbitung, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak menerus ke Kecamatan Solear, Keecamatan Cisoka, Kecamatan Tigaraksa, dan Kecamatan Cisauk Kabupaten Tangerang hingga ke Kabupaten Bogor meliputi beberapa tempat di Kecamatan Jasinga dan Cigudeg.  Dari areal seluas itu telah dikeluarkan fosil kayu dalam jumlah sangat besar, mungkin ribuan container dalam keadaan mentah (raw material) telah diekspor keberbagai negara pada tahun-tahun sebelum 2005. Ribuan ton masih teronggok di pengusaha pengrajin batu di wilayah Banten, Sukabumi dan Bogor, dan begitu banyak yang sudah menjadi barang dekoratif di rumah-rumah mewah atau perusahaan di dalam maupun luar negeri. Juga diyakini masih tersimpan dalam jumlah cukup besar di bawah permukaan tanah dalam berbagai corak, kualitas dan ukuran.

Sebenarnya secara geografis, fosil kayu dapat ditemui di banyak tempat diseluruh penjuru dunia. Di beberapa negara fosil kayu dilindungi oleh pemerintah, seperti di Arizona ditempatkan dalam satu kawasan Taman Nasional, bahkan Thailand juga memiliki kawasan perlindungan fosil kayu atau Negara-negara lain seperti Brazil, Australia dan beberapa negara Eropa. Di negara kita perlindungan fosil kayu baru dimulai di daerah sekitar Batang Merangin, Provinsi Jambi yang sedang diusung untuk menjadi anggota dari Global Geopark setelah berstatus sebagai Geopark Nasional sejak tahun 2014.  Pertanyaannya kemudian; apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah Provinsi Banten sebagai upaya pelestarian fosil kayu yang keberadaannya cukup melimpah ini ?.

Seperti telah diulas bahwa fosil kayu di Banten, khususnya yang ditemukan dalam kelompok batuan Formasi Genteng, memiliki beberapa keistimewaan dari berbagai kriteria seperti warna, tingkat silisifikasi dan ukurannya. Hal ini sangat berkaitan erat dengan proses pembentukannya secara geologis yang secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut :

Pada awal Kala Pliosen atau sekitar 7 juta tahun yang lalu terjadi rangkaian kegiatan erupsi gunung api yang sangat besar (mungkin dlm beberapa periode letusan), sehingga areal hutan lebat yang terdapat diwilayah tersebut terkubur oleh endapan produk volkanik seperti tuf, lapilli yang tebal berkomposisi menengah-asam yang sangat kaya dengan senyawa silika (SiO2). Karena demikian dahsyatnya letusan hingga hutan tersebut bukan saja terkubur tapi juga sebagian terbakar hingga terarangkan karena terpapar aliran piroklastik bersuhu sangat tinggi. Setelah terkubur, proses pembentukan fosil kayu berjalan dalam ribuan, bahkan jutaan tahun. Dimulai dari pemadatan endapan, pembusukan material organik dari kayu yang terkubur hingga pengisian jejak kayu yang telah membusuk tersebut dengan material silika (replacement processes), dengan proses bertahap tersebut tekstur kayu tetap bertahan, maka jadilah fosil kayu yang terkersikkan atau kayu yang membatu atau “petrified wood”. Tidaklah heran masyarakat sekitar yang menemukan kemudian menamakannya sebagai batu sempur (batu dari pohon kayu sempur); pohon sempur ini termasuk sejenis tanaman kayu (Genus; Dilenia) yang pada masa lalu cukup popular sebagai bahan baku untuk bangunan rumah serta perabotannya.

            Tingkat silisifikasi atau pengisian material silika pada fosil kayu sangat tergantung pada tinggi rendahnya kadar senyawa SiO2 dalam batuan disekitarnya dan proses transportasi senyawa tersebut, dalam hal ini dikenal ada dua pendapat yang menjelaskan replacement silika kedalam jejak kayu, yaitu berupa pelindian (leaching) dan aktifitas hidrotermal.

Pelindian (leaching) SiO2 adalah proses terlarutnya senyawa SiO2 dalam air atau cairan, terjadi pada batuan yang sangat kaya SiO2 seperti tuf berkomposisi asam. Larutan ini bergerak sesuai gaya gravitasi melalui rongga antar butiran atau rekahan lalu tertahan dan terendapkan dalam ruang pada jejak kayu yang telah membusuk, juga kayu terarangkan yang cukup porous (berpori-pori). Proses ini berlangsung perlahan lahan selama ribuan atau jutaan tahun.

Aktifitas hidrotermal adalah fasa akhir dari proses pembekuan magma, dimana air atau cairan yang mengandung SiO2 dalam keadaan suhu tinggi (200oC – 500oC) tertekan keatas permukaan, bergerak melalui rekahan atau pori dalam batuan. Silika yang terlarut dapat terperangkap dan membeku di mana saja, termasuk di ruang yang ditinggalkan kayu yang membusuk. Air dengan larutan silika dan senyawa lainnya tersebut bisa berasal dari sisa pembekuan magma, atau sebagai air meteorit yang terpapar panas bersumber dari magma pada sebuah sistem vulkanis atau magmatis.

Fosil kayu asal Banten atau yang lebih popoler disebut sebagai batusempur, telah sejak lama diolah dijadikan berbagai benda dekoratif di rumah atau menjadi aksesoris karena disamping memliliki keunikan, juga memiliki keindahan yang sangat menarik. Tentu saja telah membangun nilai ekonomi tersendiri yang terkadang fantastis. Benda yang jenis dan kualitasnya beraneka ragam ini bisa bernilai jual hingga milyaran rupiah. Harga ini telah terbangun dengan sendirinya berdasarkan berbagai parameter, salah satunya yang paling berpengaruh adalah dari jenis bahan dasarnya dimana dikalangan pedagang dan pengrajin batusempur dikenal lima jenis yang yaitu; beledug, semi porselen, porselen, semi akik dan akik. Jenis-jenis ini dapat dikenali secara sederhana sebagai berikut :

  1. Batusempur beledug berpenampilan kusam, bila digosok (dipoles) tidak bisa mengkilap;
  2. Batusempur semi porselen, berpenampilan agak kusam, bila digosok sebagian mengkilap seperti porselen;
  3. Batusempur porselen apabila dipoles bisa mengkilap seperti poselen atau keramik, tapi tidak tembus cahaya;
  4. Batusempur semi akik apabila dipoles maka sebagian akan berkilap seperti kilap kaca dan sebagian tembus cahaya;
  5. Batusempur akik apabila dipoles maka hampir seluruhnya berkilap seperti kilap kaca dan tembus cahaya (transparan).

Tabel jenis-jenis batusempur (fosil kayu asal Banten)

Dari keterangan proses terbentuknya fosil kayu terkersikkan/tersilikakan diatas maka dapat dijelaskan kaiatan jenis batusempur dengan tingkat siisifikasi, dimana batusempur jenis akik mempunyai tingkat silisifikasi paling sempurna bahkan bisa sangat sempurna hingga penampakannya bisa menyerupai kristal kuarsa. Hal ini juga mencerminkan ketahanan dari batusempur karena batusempur beledug biasanya mempunyai tingkat kekerasan yang lebih rendah (biasanya kurang dari 6 pada skala Mohs) dibandingkan dengan  jenis lainnya, sementara batusempur akik memiliki sifat-sifat menyerupai mineral agate, yaitu mineral kelompok kuarsa yang terbangun dari mikrokristal SiO2 (Kekerasan hingga 7 pada skala Mohs).

Batusempur juga beragam dalam hal warna dan corak dimana dikenal warna-warna dasar mulai putih, hitam, kuning, coklat, merah hingga kehijauan. Warna-warna tersebut tergantung dari unsur pengotor yang ada didalamnya, dimana warna-warna coklat dan kemerahan biasanya karena kandungan Fe (besi) dalam bentuk oksida, sedangkan warna kehijauan berasal dari kandungan Cu (tembaga), dan warna hitam biasanya karena kayu tersebut terarangkan oleh sebuah peristiwa letusan gunung api.

Dari uraian singkat diatas maka tidak bisa disangkal bahwa batusempur merupakan bagian dari kekayaan geodiversity (keragaman geologi), dan memenuhi unsur kekhasan fosil sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional, sehingga harus dilestarikan untuk menjamin keterdapatannya secara berkelanjutan dan jangan sampai lenyap begitu saja, terlebih-lebih apabila diekspor tanpa pengendalian. Kalau sudah seperti itu, maka pada satu waktu bisa saja kita hanya akan dapat menyaksikan batusempur (fosil kayu asal Banten) di negara lain.

Perencanaan pelestarian batusempur pernah dilakukan, melibatkan pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten, dalam hal ini antara Menteri Pariwisata, Gubernur Banten, Bupati Lebak dan pakar batu permata. Hasilnya adalah kesepakatan untuk membangun sebuah taman batu diatas lahan seluas 200 hektar berlokasi di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak. Dokumen perencanaan sudah dibuat dengan sangat rinci berupa sebuah konsep kawasan terpadu taman batu yang mengakomodir berbagai aspek ruang berikut :

  1. Ruang peruntukan konsevasi
  2. Ruang peruntukan edukasi
  3. Ruang peruntukan komersial
  4. Ruang peruntukan budaya
  5. Ruang peruntukan hunian
  6. Ruang terbuka hijau
  7. Ruang peruntukan campuran

Dalam perkembangannya, rencana tersebut kemudian tertunda akibat kendala pengadaan lahan.

Pada saat ini, sebenarnya merupakan waktu yang terbaik untuk mewujudkan gagasan tersebut, mengingat semakin berkurangnya penemuan batusempur, terutama yang berukuran besar dan adanya pembangunan Bendungan Karian, ditempat dimana potensi fosil kayu berukuran besar terdapat cukup banyak, baik di lembah aliran sungai utama (Ciberang) maupun di perbukitan sekitarnya. Adanya genangan Bendungan Karian nanti akan menenggelamkan beberapa lokasi keterdapatan fosil kayu sehingga tidak dapat sama sekali.

Lokasi taman batu sebaiknya ditempatkan di sekitar Bendungan Karian, sehingga dapat memperkuat fungsi kawasan penunjang bendungan tersebut sebagai kawasan pariwisata yang unik berbasis geologi (Geowisata), di dalam kawasan taman batu ditampilkan sumberdaya alam berupa batusempur dalam berbagai corak, warna dan ukuran  mulai ranting, penggalan batang hingga batang utuh berukuran panjang hingga puluhan meter. Selain itu bisa dilengkapi juga dengan bebatuan menarik lainnya yang ada seperti kalimaya atau batuan yang belakangan banyak dijumpai dari kawasan lain seperti batu pancawarna yang berasal dari daerah Gunung Kencana, Cibaliung dll.

Daftar Pustaka

  • Tata Henda, 2015 Mengenal Batusempur dan Kalimaya, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Banten.
  • Sutikno Bronto, 2012, Publikasi Khusus, Geologi Gunung Api Purba, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral;
  • Abidin, HZ., 2008, Fosil Kayu, Indikasi Kehidupan Prasejarah di Kubah Bayah, Warta Geologi vol 3, no.2, Badan Geologi Bandung;
  • Sujatmiko dan S. Santosa, 1992, Peta Geologi Lembar Leuwidamar, Jawa, skala 1 : 100.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
  • E. Rusmana, K. Suwitodirdjo dan Suharsono, 1991, Peta Geologi Lembar Serang, Jawa, skala 1 : 100.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
  • Annibale Mottana dkk, 1977, Simon & Schusters Guide to Rocks & Minerals;
  • Whitten, D.G.A., with Brooks, J.R.V., 1972, The Penguin Dictionary of Geology, Middlesex, England;

 


Share this Post