IMPLEMENTASI PERDA BANTEN 10/2012 STUDI KASUS PT. INDONESIA POWER SURALAYA (BAGIAN 1)

Sumber Gambar :

OLEH : UJER, ST

1.         Pendahuluan.

Indonesia menjadi salah satu negara sorotan dunia, karena tingkat deforestasi (berkurangnya luas hutan) tertinggi di dunia, sekitar 680 ribu hektare per tahun. Indonesia juga menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca tertinggi ketiga di dunia. Pembukaan dan pembakaran lahan mengakibatkan Indonesia kehilangan keanekaragaman hayati yang cukup besar (http://news.detik.com/ berita/2865541/terus-berkurang-drastis-hutan-indonesia-jadi-sorotan-dunia, 02-01-2016).

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kini menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang menuntut penanganan yang masif. Pemerintah sendiri sudah membuat payung hukum kebijakan dalam penanggulangan dan pengelolaan lingkungan hidup yakni, Undang-Undang No 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

UU tersebut di atas menyebutkan dalam Pasal 3, bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untuk: (a) melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; (b) menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; (c) menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; (d) menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; (e) mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; (f) menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan; (g) menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia; (h) mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; (i) mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan (j) mengantisipasi isu lingkungan global. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga menindaklanjuti dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.

Pemerintah Provinsi Banten sendiri dalam melakukan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup, mengacu pada peraturan dan perundang-undangan di atas. Selain itu, Pemerintah Provinsi Banten juga mengatur perlindungan dan pengelolaan lingkungan dengan dilahirkannya Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Disebutkan dalam Pasal (1) Ayat (8) pada Perturan Daerah Provinsi Banten Nomor 10 Tahun 2012 tersebut, yang dimaksud perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

Dunia saat ini tengah gencar membicarakan pentingnya menjaga pelestarian lingkungan hidup, fenomena tersebut dipicu akibat perubahan iklim global yang mengancam keselamatan manusia di dunia, berupa isu pemansan global. Bahwa selama lebih dari 150 tahun terakhir, jumlah gas rumah kaca di atmosfer meningkat seiring dengan meningkatnya kegiatan perindustrian. Gambaran bahaya pemanasan global tersebut, salah satunya dikupas oleh Anthony Giddens (2015) dalam bukunya yang berjudul “The Politcs of Climate Change (Politik Perubahan Iklim” yang diterjemahkan oleh Barikatul Hikmah, Freedom Institute dan FNF Indonesia. Suhu rata-rata dunia telah meningkat 0,74 derajat sejak Tahun 1901, artinya suhu dunia telah mengalami fluktuasi dan hal itu terkait adanya pertumbuhan jumlah C02 di udara. Disebutkan pada awal Tahun 2008, jumlah C02 telah mencapai 387ppm dan semakin meningkat 2 ppm setiap tahunnya (Giddens, 2015: 22).

Dunia menaruh perhatian pada tingkat deforestasi dan degradasi lahan Indonesia yang akhir-akhir ini cukup mengkhawatirkan. Setengah dari daratan di Indonesia adalah hutan, dan menjadi salah satu hutan tropis terpenting di dunia yang signifikan mensuplai oksigen dalam jumlah besar untuk Bumi, dan berperan besar terhadap perubahan iklim. Masyarakat dunia telah melakukan upaya-upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup untuk penyelamatan bumi. Upaya negosiasi untuk membatasi pemanasan global telah diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dimulai di Rio de Jenario pada Tahun 1992, lalu kedua di Kyoto pada Tahun 1997 dan terakhir di Bali, Indonesia pada tahun 2007. Upaya yang dibicarakan dalam pertemuan-pertmeuan internasional tersebut, sebagai upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dunia.

Krisis energi dan pangan dunia sebagai tanda krisis ekonomi global memaksa pemimpin negara untuk mengubah kebijakan industri berbasis energi fosil dan penyediaan secara masif pangan dunia. Situasi krisis ekonomi ini juga memperburuk krisis lingkungan khususnyanya situasi iklim dan telah mempercepat pemanasan global. UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) sebagai organisasi global terus berusaha menuju pada kesepakatan global (yang belum tercapai sampai sekarang) untuk menstabilkan konsentrasi GRK (gas rumah kaca) di atmosfir pada tingkat 450 ppm (parts per million) CO2e yang berasosiasi dengan kenaikan suhu rata-rata secara global sebesar 2oC atau dua derajat Celcius (Giddens, 2015: 23). Salah satu cara untuk mengatasi krisis lingkungan tersebut adalah dengan mensubstitusi dan mengurangi ketergantungan energi fosil. Energi yang berasal dari tumbuhan menjadi alternatif utama dalam menjawab persoalan meningkatnya emisi karbon.

Pencemaran lingkungan hidup yang mempengaruhi bahaya perubahan iklim sebagian besar disumbangkan dari aktivitas industri yang tidak ramah lingkungan. Tahun 2009 lalu, pemerintah Indonesia berjanji mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen secara mandiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2020 (http://news.detik.com/berita/2865541/terus-berkurang-drastis-hutan-indonesia-jadi-sorotan-dunia, 02-01-2016).

Indonesia: International Energy Data and Analysis, US EIA atau Badan Energi Internasional (IEA, 2015) mengungkapkan bahan bakar fosil batubara menyumbang 44 persen dari total emisi CO2 global. Hal tersebut karena pembakaran batubara adalah sumber terbesar emisi gas GHG (green house gas), yang memicu perubahan iklim. Saat ini Indonesia merupakan negara nomor satu pengekspor batubara di dunia, melampaui Australia (http://www.eia.gov/beta/international/country.cfm?iso=IDN,03-01-2016).

Artinya penambangan batubara menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki terhadap tanah, sumber air, udara dan juga membahayakan kesehatan, keamanan dan penghidupan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi pertambangan. Fenomena tersebut harus menjadi perhatian pemerintah dan semua stakeholder pembangunan, karena ancamannya sudah membahayakan keselamatan manusia dan mahluk hidup lainnya.

Menurut studi yang dilakukan Greenpeace Indonesia pada 2014 lalu, sepanjang 3000 km atau  sebanyak 45% sungai di Kalimantan Selatan berpotensi  tercemar limbah berbahaya dari konsesi tambang. Partikel-partikel polutan yang sangat berbahaya dari Pencemaran hasil pembakaran batubara tersebut, saat ini mengakibatkan kematian dini sekitar 6.500 jiwa per tahun di Indonesia (http://www.iea.org/publications/ freepublications/ publication/co2-emissions-from-fuel-combustion highlights-2014.html. 03-01-2016). Estimasi yang dilakukan Harvard Univesity dalam laporan (Greenpeace Indonesia, 2015: 2). Menunjukan penyebab utama dari kematian dini termasuk stroke (2.700), penyakit jantung iskemik (2.300), kanker paru-paru (300), penyakit paru obstruktif kronik (400), serta penyakit pernafasan dan kardiovaskular lainnya (800). Estimasi angka tersebut diperkirakan akan melonjak menjadi sekitar 15.700 jiwa/tahun seiring  dengan rencana pembangunan PLTU Batubara baru yang terus dilakukan di Indonesia, (Greenpeace Indonesia, 2015: 2-3).

Batubara yang dibakar di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) memancarkan sejumlah polutan seperti NOx dan SO3, kontributor utama dalam pembentukan hujan asam dan polusi PM2.5. Masyarakat ilmiah dan medis telah mengungkap bahaya kesehatan akibat partikel halus (PM2.5) dari emisi udara tersebut. PLTU Batubara juga memancarkan bahan kimia berbahaya dan mematikan seperti merkuri dan arsen. PLTU Batubara seperti mesin penebar maut. PLTU mengeluarkan polusi yang membunuh, meracuni udara yang  menyebabkan gangguan kesehatan dan kerugian yang luas untuk pertanian, perikanan, lingkungan, dan perekonomian masyarakat, (www.epa.gov/airquality/urbanair, 03-01-2016).

Perkembangan industri di Provinsi Banten juga cukup pesat. Provinsi ini merupakan wilayah penyangga Ibukota Negara Indonesia yaitu Daerah Khusus Ibukota (DKI)  Jakarta, yang berkembang pesat industri-industri besar, baik bersekala lokal, nasional, dan internasional. Hitungan limbah padat harian antropogenik untuk Provinsi Banten diperkirakan sekitar 9.040.116/m3/tahun (http://blhd.bantenprov.go.id/upload/articlepdf/Buku_Analisa_SLHD_Banten_2014.pdf, 02-01-2016). Kondisi tersebut belum bahan pencemar yang berasal dari kesibukan arus lalu lintas, hingga kegiatan produksi sejumlah industri menengah dan besar, semuanya menghasilkan limbah dan polusi yang tiap tahunnya diperkirakan semakin meningkat.

Diketahui industri pengolahan bersekala besar dan sedang di wilayah Provinsi Banten pada Tahun 2014 jumlahnya mencapai 1682 perusahaan industri. Jumlah tersebut meningkat jika dibandingkan dengan data pada tahun 2013 yang berjumlah 1674, atau terjadi penambahan 7 perusahaan industri (BPS Provinsi Banten, 2014: 12-14). Asosiasi Pengelolaa Limbah Indonesia (APLI) Banten menilai bahwa Banten saat ini dalam daruruat limbah industri. Menurut ALPI Banten, ada ratusan perusahaan dari 1.600 perusahaan di wilayah Provinsi Banten bermasalah serius dalam pengelolaan limbah (http://www.indopos.co.id/2015/02/ banten-darurat- pencemaran- limbah-industri.html, 10-01-2016). Akibat pencemaran yang semakin memburuk ALPI Banten menyatakan Banten diklaim dalam situasi darurat limbah.  Alasan tersebut didasarkan pada ratusan industri di Banten tidak memiliki pengelolaan limbah yang maksimal, sehingga pencemaran lingkungan masyarakat sekitar industri dalam situasi darurat.

Berdasarkan identifikasi Pemerintah Provinsi Banten melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banten, saat ini memiliki 78 pabrik kimia yang berpotensi mengancam kesehatan warga Banten, hal tersebut seperti dikutip Sindonew.com pada Edisi Rabu  25 Maret 2015 - 12:13 WIB (http://daerah.sindonews.com/read/ 981112/21/78-pabrik-di-banten-ancaman kesehatan-warga-1427260365, 02-01-2016). Pabrik tersebut dinyatakan menghasilkan bahan berbahaya dan beracun yang mengancam kesehatan warga  jika tidak dilakukan pencegahan terhadap bencana industri. BPBD Banten membagi empat zona penanggulangan bahaya pencemaran pabrik-pabrik tersebut. Zona pertama berada di Anyer hingga perbatasan Ciwandan, kemudian zona dua berada di Ciwandan sampe Cilegon. Zona tiga pada kawasan Gerem sampai Cilegon dan zona empat berada di Cilegon hingga Merak. Semua industri tersebut yang memproduksi bahan kimia, sangat rentan dampaknya terhadap pencemaran udara dan limbah tersebut tergolong bahan berbahaya dan beracun (http://daerah.sindonews.com/read/ 981112/21/78-pabrik-di-banten-ancam-kesehatan-warga-1427260365, 02-01-2016).

Ancaman limbah bisa terjadi dari kebocoran pada pembuangan uap industri dan reaktor pengolahan bahan. Limbah yang dihasilkan dikhawatirkan belum disteralisasi, sehingga bisa merugikan masyarakat. Bahaya limbah bila bersentuhan langsung dengan manusia bisa menimbulkan penyakit, jika lewat udara  penyakit pernafasan, ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) serta bisa juga menyebabkan kanker otak, jika bersentuhan langsung bisa menyebabkan penyakit kulit. Hal itu, akibat bencana industri tersebut yang bisa menyebabkan kematian jika tidak ada pencegahan dan mitigasi bencana yang sewaktu-waktu bisa terjadi (Greenpeace Indonesia, 2015: 5).

PT Indonesia Power PLTU Suralaya yang terletak di Suralaya, Kota Cilegon, Propinsi Banten, merupakan perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang bergerak dalam bidang industri pembangkit listrik berbahan dasar uap batubara. PLTU Suralaya dimiliki oleh anak perusahaan PT.PLN (persero) yaitu PT.Indonesia Power. Pembangikt PLTU Suralaya terhubung dalam sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali (JAMALI) melalui transmisi SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi) 500 Kv. PLTU Suralaya merupakan pembangkit berbahan bakar batubara terbesar di Indonesia yang mensuplai kebutuhan listrik nasional hingga 20%. Selain itu, PLTU Suralaya juga merupakan pembangkit listrik tenaga uap terbesar di ASEAN yang mempunyai total kapasitas .4000-4.100 MW. PLTU Suralaya memasok energi listrik ke Propinsi Banten sekitar 25% dari keseluruhan energi listrik di sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali. Setiap harinya PLTU Suralaya menghabiskan batubara sebanyak 37.560 ribu ton/hari (http://www.indonesiapower.co.id/SitePages/ip_at_a_glance.aspx, pada 12-01-2016).

Gambaran dan paparan di atas menjadikan alasan peneliti untuk mengkaji dalam melakukan penelitian lebih lanjut mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. PT Indonesia Power PLTU Suralaya dijadikan sebagai lokus penelitian, karena PLTU Suralaya merupakan pembangkit listrik tenaga uap terbesar di ASEAN dengan lokasi pembangkitnya ada di Wilayah Provinsi Banten. Hal tersebut menarik untuk diteliti, karena telah digambarkan di atas bahwa hasil pembakaran batubara indikasinya menimbulkan gejala berupa polusi udara yang menyebabkan gejala penyakit kanker paru-paru, stroke, penyakit jantung, dan penyakit pernapasan. Indikasinya polutan yang ditimbulkan mengandung racun, termasuk merkuritimbalarsenikkadmiun dan partikel halus beracun, yang mudah menyusup ke dalam paru-paru manusia (Ruckerl R. et al. 2011. (www.epa.gov/airquality/urbanair, 03-01-2016). Anacaman tersebut mungkin saat ini belum dirasakan secara langsung oleh masyarakat, namun dengan proses waktu yang lama seperti bom waktu bisa mengancam keselamatan masyarakat di sekitar Industri PLTU Suralaya tersebut.

2.         Kerangka Pemikiran Penelitian

3.         Profil Singkat  PT Indonesia Power PLTU Suralaya

Lokasi PLTU Suralaya unit 1-8 terletak di Pantai Tanjung Pujut yang secara administratif terletak di Kelurahan Suralaya, Kecamatan Pulomerak, Kota Cilegon, Provinsi Banten. PT Indonesia Power PLTU Suralaya merupakan perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang bergerak dalam bidang industri pembangkit listrik berbahan dasar uap batubara. PLTU Suralaya dimiliki oleh anak perusahaan PT PLN (persero) yaitu PT Indonesia Power. Pembangikt PLTU Suralaya terhubung dalam sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali (JAMALI) melalui transmisi SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi) 500 Kv. PLTU Suralaya merupakan pembangkit berbahan bakar batubara terbesar di Indonesia yang mensuplai kebutuhan listrik nasional hingga 20%. Selain itu, PLTU Suralaya juga merupakan pembangkit listrik tenaga uap terbesar di ASEAN yang mempunyai total kapasitas .4000-4.100 MW. PLTU Suralaya memasok energi listrik ke Propinsi Banten sekitar 25% dari keseluruhan energi listrik di sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali. Setiap harinya PLTU Suralaya menghabiskan batubara sebanyak 37.560 ribu ton/hari (Indonesia Power, 2016).

Unit Pembangkit Suralaya dari unit 1-7 dibangun di atas areal seluas 239 Hektar (Ha)  yang terdiri dari Gedung Sentral seluas 53 Ha, Ash Valley 14 Ha, Coal Yard Ha, komplek perumahan 20 Ha dan sisanya merupakan daerah perbukitan serta hutan yang dianggap sebagai kawasan hijau bagi kawasan tersebut. Unit PLTU 1 Banten (PLTU Suralaya Unit 8) dibangun di lahan seluas ± 34 Ha dan berbatasan langsung dengan settling pound dan saluran kanal limbah bahang unit 1-7 di sebelah barat dan selatan. Dengan demikian luas lahan area total yang terbangun untuk PLTU Suralaya unit 1-8 adalah 137 Ha atau 57% dari luas lahan yang ada.

 

a.   Proses Produksi Secara Umum

Secara umum, proses produksi listrik oleh PLTU Suralaya berupa proses produksi berikut limbah yang dihasilkan, serta beberapa pendekatan teknologi yang digunakan untuk mengolah limbah, seperti pada gambar berikut:

Alat utama yang digunakan dalam proses tersebut adalah berupa boiler, turbin, dan generator, sementara bahan utama yang digunakan adalah batubara sebagai bahan bakar. Alat dan bahan lainnya sebagai penunjang diantranya conveyor belt, junction house, stockyard batubara, ash valley, reverse osmosis, High Density Diesel (HDD), Main Oil Fuel (MFO), Water Treatment Plant, Stack, dan beberapa alat berat dan bahan penunjang lainnya.

Untuk limbah, maka limbah utama yang dihasilkan adalah berupa abu sisa pembakaran batubara, sisa tersebut di timbun di ash valley, dan sebagian besar dimanfaatkan dengan dijual kering dan atau basah kepada industri yang dapat memanfaatkan limbah abu tersebut. Limbah linnya yang juga diupayakan untuk dilakukan pengolahan dan pemanfaatan ulang, seperti air limbah hasil pengolahan di Water Treatment, diolah kembali untuk dimanfaatkan sebagai air penyiram debu batubara di ash valley.

 

b.  Bahan Bakar Produksi yang Digunakan.

Bahan bakar utama yang digunakan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya adalah batubara yang berasal dari Bukit Asam, Sumatera Selatan. Selain batubara, bahan bakar minyak berupa  High Speed Diesel (HSD) dan Main Fuel Oil (MFO), juga digunakan untuk PLTU Suralaya khusunya untuk Unit 1-4.

Kebutuhan batubara untuk PLTU Suralaya unit 1-7 selama tahun 2012 menunjukan angka sebesar 11.766.489,004 ton. Angka tersebut menunjukan bahwa setiap jam dibutuhkan 1.343 ton batubara untuk oprasional pembangkit unit 1-7. Kebutuhan batubara untuk PLTU Unit 8 adalah 222 ton/jam, sehingga total kebutuhan batubara untuk PLTU Suralaya (unit 1-8) adalah 1.565 ton/jam. Kebutuhan batubara untuk unit 1-4 sebesar 190 ton/jam dan unit 5-7 sebesar 270 ton/jam, atau kebutuhan total batubara unit 1-7 sebesar 12,4 juta/tahun, sedangkan kebutuhan batubara di unit 8 dalam sebulan 300 ton/jam (2,6 juta ton/tahun). Hal tersebut didasarkan pada data tahun 2013 (Indonesia Power, 2015:13).

Karakteristik batubara yang dipergunakan adalah Low Rank Coal dengan kadar sekitar (0,33-0,60) % berat. Karakteristik yang digunakan baik proximate analysis maupun ultimate analysis. Sebagai bahan bakar pendukung atau bahan bakar awal menggunakan Fuel Oil (HSD, High Speed Diesel Oil). Adapun transportasi bahan bakar yang digunakan untuk mengankut batubara dari tongkang di dua dermaga adalah Grab Ship Unloader dengan kapasitas 2 x 1.750 TPH. Batubara yang diangkut oleh Grab dimasukan ke Hipper untuk kemudian disalurkan melalui  belt conveyor (2 belt, kapasitas 4.000 ton/jam) untuk membawa batubara ke tempat penampungan batubara (stock yard). Dari tempat penampungan batubara  dibawa ke Underground Belt Conveyor dengan bulldozer dan dari stocker reclaimer dengan menggunakan ban berjalan kapasitas 2.000 ton/jam ke coal banker. Dengan memakai Coal Feeder batubara dimasukan ke dalam Pulvenezer untuk digiling menjadi serbuk halus (lebih kurang 70% lolos ayakan 200 meshesize). Serbuk batubara ini di dorong dengan tekanan udara panas dari Primary Air Fan (PA Fan) untuk dibakar di coal buner.

c.   Proses Produksi Tenaga Listrik.

Batubara yang dibongkar dari kapal di Coal Jetty kemudian dikeruk dengan menggunakan Stocker Reclaimer (1) dan selanjutnya diangkut dengan conveyor menuju penyimpanan sementara (Temprary Stock) dengan melalui Telescopic Chute (2) kemudian dikirim ke Boiler. Selanjutnya batubara tersebut ditransfer melalui Junction House (3) ke Scropper Conveyor (4) lalu ke Coal Bunker (5) diteruskan ke Coal Feeder (6) yang berfungsi mengatur jumlah aliran ke Pulveizer (7) di mana batubara digiling sesuai kebutuhan menjadi serbuk yang sangat halus seperti tepung. Serbuk batubara ini dicampur dengan udara panas dari Primary Air Fan (8) dan dibawa ke Coal Burner (9) yang menghembuskan batubara tersebut ke dalam ruang bakar untuk proses pembakaran dan terbakar seperti gas untuk merubah air menjadi uap. Udara panas yang digunakan oleh PA Fan dipasok dari FD Fan (10) yang menekan udara ke Coal Burner untuk menekan udara panas setelah dilewatkan melalui Air Healter (11). FD Fan juga memasok udara ke Coal Burner untuk mendukung proses pembakaran.

Hasil proses pembakaran yang terjadi menghasilkan limbah berupa abu dalam perbandingan 14: 1. Abu yang jatuh ke bagian bawah  boiler oleh ID Fan (12) dan dilewatkan melalui Electric Precipitator (13) yang menyerap 99,5% dari abu terbang dan debu dengan system elektode yang dihembuskan ke cerobong asap/stack (14). Abu dan debu kemudian dikumpulkan dan diambil dengan alat Pneumatic Gravity Conveyor yang digunakan sebagai material untuk bahan pembuatan jalan, semen dan bahan bangunan (conblok). Panas yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar diserap oleh pipa-pipa. Penguap menjadi uap jenuh atau uap basah yang selanjutnya dipanaskan dengan superheater (15). Kemudian uap tersebut dialirkan ke turbin tekanan tinggi. HP Turbine (16), di mana uap tersebut ditekan melalui Nozzle ke sudut-sudut turbin. Tenaga dan uap menghantam sudu-sudu turbin dan membuat turbin berputar, hingga ke proses terakhir menghasilkan tenaga listrik. Di mana tenaga listrik yang dihasilkan oleh PLTU Suralaya berkapasitas total 4.000 MW.


Share this Post