PROSES PEMBENTUKAN FOSIL KAYU

Sumber Gambar :

Proses pembentukan fosil kayu

Dalam sejarah geologi, kehidupan terutama pepohonan (flora) tumbuh dengan subur di daerah rawa.Dengan demikian tanpa adanya daerah rawa kemungkinan kecil atau bahkan tidak ada flora yang merupakan asal muasal dari batubara dan fosil kayu. Di daerah yang kaya akan fosil kayu, yang sekarang dikenal sebagai Kubah Bayah, sebelumnya diduga merupakan Cekungan Bayah. Dalam cekungan inilah pepohonan tumbuh dengan suburnya bahkan menjadi pohon-pohon berukuran raksasa.

Dari data geologi, kehidupan flora di daerah cekungan Bayah ini diduga terjadi sebelum terjadinya aktifitas gunung api dan magmatisme atau sebelum terjadinya pembentukan Kubah Bayah. Karena kehidupan sekarang diduga terjadi setelah padamnya kegiatan vulkanisme atau setelah pembentukan Kubah Bayah.

Sebagaimana jenis fosil lainnya, fosil kayu merupakan bukti kehidupan masa lalu (ancient) yang terkubur akibat proses alam (geologi) kemudian terawetkan dalam kondisi  jenis batu dan lingkungan tertentu. Dalam hal ini bukti kehidupan tersebut berupa jejak tumbuh-tumbuhan yang pernah ada ribuan, bahkan jutaan tahun yang lalu ditempat dimana fosil ditemukan. Proses pembentukannya, seperti halnya pembentukan fosil lainnya merupakan proses geologi yang dikenal dengan istilah-istilah pemfosilan, pemineralan, pembatuan dan pengarangan.

Pada masa sekitar 36-40 juta tahun yang lalu (akhir kala Eosen) ada suatu kehidupan flora di wilayah geologis Cekungan Bayah yang membentang dari wilayah bagian selatan kabupaten Pandeglang sekarang hingga daerah Pongkor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, artinya Cekungan Bayah waktu itu merupakan rawa yang ditutupi oleh hutan purba yang lebat.

Kemudian pada kala Oligo-Miosen atau sekitar 20 juta tahun yang lalu terjadi proses tektonik (endogen) yang mengangkat cekungan Bayah secara berlawanan yang sebelumnya berbentuk convect (cekung) menjadi concave (cembung). Hasil dari aktivitas ini dikenal dengan nama Kubah Bayah. Bersamaan dengan itu terjadi kegiatan vulkanik dan diikuti pula oleh terobosan/intrusi magmatis. Kegiatan vulkanisme diduga menghasilkan batuan gunung api Formasi Andesit Tua (Oligosen sampai Miosen Awal), sedangkan kegiatan terobosan menghasilkan retas andesit dan granodiorit (Miosen Tengah). Kegiatan terobosan inilah yang sebagai pemicu terjadinya mineralisasi di Kubah Bayah. Mineralisasi ini terjadi pada fasa akhir proses terobosan, pada fasa ini terbentuk larutan hidrotermal yang membawa mineral logam tertentu seperti emas, perak dan logam dasar, seperti tembaga, timbal, seng dan mangan. Tambang emas Cikotok, Pongkor dan Cibaliung adalah bukti proses mineralisasi yang terjadi di wilayah Kubah Bayah ini.

Sebaliknya bersamaan dengan proses pengkubahan, kehidupan flora (pepohonan) musnah dan terkubur dibawah permukaan. Kegiatan terobosan dan vulkanisme menghasilkan larutan hidrotermal yang kaya akan silika. Larutan ini melalui celah atau rongga menerobos permukaan yang kaya akan sisa-sisa kayu purba serta mengganti komponen kayu yang mati tersebut secara kimiawi menjadi silika. Proses demikian disebut silisifikasi/pengersikan tanpa mengubah struktur asli material tersebut.

Sebetulnya larutan hidrotermal dalam proses pengersikan ini sama dengan saat proses pemineralan, namun karena temperatur semakin rendah dan makin dekat dengan permukaan sehingga mineral logam tidak terbentuk. Yang mencirikan bahwa proses ini terjadi dekat dengan permukaan adalah dari sangat halusnya tekstur mineral silika (SiO2).

Asumsi proses pembentukan fosil kayu yang berhubungan erat dengan proses geologi Kubah Bayah atau Bayah Dome tersebut, sudah mulai diperselisihkan disebabkan sampai saat ini belum bisa diterangkan secara jelas dikarenakan sangat kompleksnya kondisi geologi di wilayah tersebut.

Kondisi lain yang memungkinkan terjadinya proses pemosilan dan pengersikkan terhadap kayu tersebut adalah terkuburnya material kayu oleh abu dan material lain yang disemburkan saat terjadinya erupsi gunung api dimana unsur silika dalam sedimen yang mengubur kayu tersebut sebagian terlarutkan dalam air tanah dan kemudian secara perlahan-lahan dalam waktu ribuan atau bahkan jutaan tahun, senyawa silika tersebut menggantikan lignin dan selulosa kayu yang membusuk. Konsep ini sangat berkaitan erat dengan aktifitas letusan gunung api yang sangat besar, yaitu gunung api tipe kaldera yang meninggalkan kawah dengan radius lebih dari 2 km. Letusan gunung api tipe kaldera dikenali diantaranya dengan melimpahnya material batu apung selain, tentu saja endapan piroklastik yang sangat tebal, sehingga pada saat setelah erupsi besar tersebut areal vegetasi yang luas benar-benar terkubur oleh material vulkanik yang berkomposisi silika tinggi.

Wilayah Banten sebagian besar ditutupi oleh endapan batuan hasil kegiatan gunung api. Hal ini dapat dilihat dari peta geologi yang ada dan dapat dibuktikan di lapangan. Sementara dengan mempelajari citra landsat juga dapat dilihat morfologi yang sangat umum sebagai morfologi pegunungan yang merupakan kompleks gunung api yang aktif maupun yang terlihat jejak-jejaknya berupa lengkungan –lengkungan terjal seperti tepian kaldera. Pada wilayah ini dapat dilihat setidaknya ada 3 kompleks gunung api yang berumur Tersier hingga Kuarter yaitu; Ujungkulon, Dano dan Bayah-Pongkor.

Di wilayah Ujungkulon, batuan gunung api tersebar berupa  lava, breksi gunung api dan endapan piroklastik  berumur Miosen hingga Kuarter. Batuan-batuan tersebut tersebar di pulau Panaitan, semenanjung Ujungkulon dan pegunungan sekitar Cigeulis-Cibaliung. Sementara Wilayah Kaldera Dano tertutup batuan gunung api dan endapan piroklastika berumur Kuarter. Sedangkan di wilayah Bayah, Cilograng, Malingping, Gunungkencana dan sekitarnya  tersebar batuan gunung api dan piroklastika berumur Eosen hingga Kuarter.

Diduga kuat bahwa beberapa letusan gunung api besar telah terjadi berulangkali sepanjang sejarah geologi wilayah Banten. Hal ini  dapat dilihat di permukaan, yaitu dari beberapa formasi batuan yang  berumur sejak Kala Eosen atau sekitar 40 juta tahun yang lalu hingga saat sekarang. Letusan gunung api besar diklasifikasikan sebagai letusan gunung api tipe kaldera, yaitu letusan yang menghasilkan kawah berdiameter lebih dari 2 km. Letusan demikian dikenali diantaranya dengan adanya endapan batu apung yang sangat melimpah dan endapan piroklastik berkomposisi asam yang sangat tebal. Endapan-endapan piroklastika inilah yang sangat berpengaruh pada pembentukan fosil kayu terkersikkan.


Share this Post