PESISIR BARAT DAN DAN SELATAN BANTEN PERLU PENATAAN RUANG BERBASIS BAHAYA TSUNAMI

Sumber Gambar :

PESISIR BARAT DAN DAN SELATAN BANTEN PERLU PENATAAN RUANG BERBASIS BAHAYA TSUNAMI

( oleh : Tata Henda )

 

Sejak Gunung Anak Krakatau (GAK) di Selat Sunda menunjukkan peningkatan aktivitas erupsi di pertengahan bulan Desember 2018, seakan tidak seorangpun menyangka bahwa gunung api yang disebut masih belia ini akan mengalami erupsi yang kemudian berdampak sangat besar seperti erupsi induknya di tahun 1883. Sehingga pemberitahuan peningkatan aktifitas gunung api itu dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi tidak mempengaruhi kegiatan akhir tahun warga dan wisatawan yang ada di pesisir Selat Sunda. Sungguh seperti basanya, orang-orang mempersiapkan acara liburan natal dan tahun baru. Hotel-hotel dan resort di Anyer, Carita dan Tanjunglesung sudah hampir penuh dipesan. Hingga pada suatu malam kondisi ini berubah total.

Pada hari Sabtu tanggal 22 Desember jam 21.27 WIB., gelombang air laut yang tinggi tiba-tiba menerjang pesisir Sumur, Tanjunglesung, Carita dan Anyer serta Lampung Selatan. Terjangan gelombang yang awalnya disebut sebagai gelombang pasang karena pengaruh cuaca disetai keadaan bulan purnama tersebut ternyata adalah gelombang tsunami yang dipicu oleh longsoran bawah laut menyusul erupsi Gunung Anak Krakatau yang cukup besar. Pada peristiwa itu sedikitnya 426 orang tewas, lebih dari 7000 orang terluka dan 23 hilang, membuat kerusakan parah di puluhan hotel/penginapan, ratusan rumah dan juga kendaraan yang terseret gelombang dahsyat.

Bencana tersebut kembali menyadarkan bahwa wilayah pesisir Selat Sunda menyimpan potensi bahaya bencana alam yang sewaktu-waktu biasa terjadi seperti tsunami yang diakibatkan letusan Anak Gunung Krakatau atau gempa bumi besar sehingga penataan ruang kawasan pesisir Selat Sunda atau pesisir selatan Banten perlu disesuaikan dengan kerentanan bencana yang terjadi sebagai akibat dari proses geologi yang kemudian disebut sebagai bencana geologi.

 

Pengaruh Keadaan Geologi

Ancaman bencana geologi di wilayah Indonesia adalah konsekwensi dari keadaan geologi secara regional yang merupakan jalur Cicin Api (Ring of Fire) melingkari Samudera Pasifik dimana di wilayah ini rangkaian gunung api aktif berjajar mulai dari ujung utara pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, menerus ke Kepulauan Maluku, Sulawesi Utara hingga Kepulauan Philipina. Pembentukan gunung api aktif tersebut terkait erat dengan zona tumbukan antar lempeng tektonik yang bergerak sepanjang masa dimana Indonesia merupakan pertemuan antara Lempeng Benua Eropa-Asia, Lempeng Samudera Indo-Australia dan Lempeng Philipina sebagai bagian dari Lempeng Samudera Pasifik  (gambar 1).

Gambar 1. Peta sebaran gunung api aktif di Indonesia

Gambar 1. Peta sebaran gunung api aktif di Indonesia

 

 

Di wilayah samudera Indonesia seperti di selatan pulau Jawa, pergerakan 2 lempeng tektonik yang saling mendekat dengan kecepatan antara 5 – 7 mm/tahun menyebabkan terjadinya tumbukan antar Lempeng Benua Eurasia dengan Lempeng Samudera Indo-Australia sehingga lempeng samudera menunjam ke bawah lempeng benua. Sepanjang zona penunjaman merupakan episentrum gempa dan tempat terbentuknya lelehan batuan yang kemudian naik menuju permukaan berupa aktifitas vulkanik (gambar 2).

Gambar 2. Sketsa tumbukan antar lempeng tektonik

Tatanan geologi yang terjadi di wilayah Banten menyebabkan wilayah pesisir selatan dan pesisir barat rentan dengan bencana tsunami apabila terjadi gempa bumi besar dengan episentrum berada di samudera Indonesia, atau akibat longsoran bawah laut seperti yang terjadi menyusul letusan gunung Krakatau. Seperti diketahui bahwa tsunami adalah gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh gangguan impulsif yang terjadi pada medium laut. Gangguan impulsif itu bisa berupa gempa bumi tektonik di laut, letusan gunung api di laut, atau longsoran (land-slide).

 

Jejak Tsunami di Wilayah Banten

Peristiwa tsunami besar yang diakibatkan adanya gempabumi di wilayah pesisir Banten, menurut hasil penelitian pernah terjadi dengan ditemukannya jejak-jejak sedimen tsunami di sekitar Binuangeun yang diperkirakan berasal dari peristiwa tsunami besar yang terjadi sekitar 400 tahun yang lalu, sedangkan tsunami akibat letusan gunung api salah satunya adalah letusan dahsyat Gunung Krakatau yang terjadi pada  27 Agustus 1883 dimana lebih dari 36.000 jiwa penduduk sekitar pesisir Selat Sunda menjadi korban. Tinggi gelombang tsunami pada saat itu di beberapa tempat mencapai lebih dari 30 meter.

Gambar 3. Peta Landaan Tsunami akibat letusan Gunung Krakatau tahun 1883 (van Verbeek, 1927)

Tsunami berpotensi terjadi karena gempa bumi di dasar laut dengan kekuatan lebih dari 6,5 pada skala Richter pada kedalaman kurang dari 60 kilometer dengan uraian kejadian dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Gambar 4. Ilustrasi terjadinya tsunami yang dipicu oleh gempabumi akibat tumbukan antar lempeng tektonik.

Ketentuan Penataan Ruang

Keadaan pemanfaatan lahan di wilayah pesisir Banten bagian barat dan bagian selatan yang rentan terlanda tsunami sebagaimana pesisir ditempat lain adalah sebagai tempat wisata pantai, perkotaan, kawasan konservasi, pelabuhan, bahkan kawasan industri beberapa lokasi berupa kawasan strategis nasional. Ditelusuri dari lokasi paling utara adalah industri  pembangkit tenaga listrik Suralaya, kemudian pelabuhan penyeberangan  Merak, Depo Bahan Bakar, Industri Baja Krakatau, Posco, Industri Kimia Cigading-Ciwandan, Kota Kecamatan Anyer, Kawasan Pantai Anyer, Kawasan Pantai Carita, Kota Kecamatan Carita, Kota Kecamatan Labuan, PLTU Labuan, Kota Kecamatan Panimbang, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjunglesung, Kota Kecamatan dan Kawasan Wisata Sumur, Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) yang sekaligus merupakan titik paling barat Pulau Jawa. Di pesisir selatan yang berhubungan langsung dengan laut lepas Samudera Indonesia terdiri atas kawasan konservasi bagian dari TNUK, Pelabuhan perikanan serta perkampungan nelayan Binuangeun, Kota Kecamatan Wanasalam, KawasanWisata Pantai Bagedur, Kota Kecamatan Malingping, Kawasan Wanawisata dan pantai Cibobos, Cihara, Kota Kecamatan Panggarangan, Kota Kecamatan Bayah, Kawasan Industri Semen Merah Putih, Wisata Pantai Karangtaraje, Wanawisata Pulomanuk, Kawasan Desa Wisata Sawarna hingga Wisata Pantai Cibareno yang berada di perbatasan antara Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat.

Morfologi pesisir bervariasi antara pedataran, perbukitan dan pegunungan dengan kemiringan lereng landai, bergelombang hingga terjal. Pedataran sebagian besar berupa pedataran pantai dan sebagian alluvial. Perbukitan bergelombang dan perbukitan berkemiringan lereng sedang terbangun dari batuan sedimen terlipat, perbukitan berlereng terjal berupa morfologi karst dan batuan gunung api. Sedangkan pengunungan tersusun dari batuan gunung api.

Terkait dengan potensi rawan terlanda gelombang tsunami dengan tingkat bahaya tertinggi adalah daerah pesisir morfologi pedataran dengan pemanfaatan lahan sebagai kota kecamatan, kawasan industri kimia, perkampungan nelayan serta kawasan pariwisata yang berhadapan langsung dengan laut baik perairan Selat Sunda atau Samudera Indonesia karena begitu dekat dengan garis pantai yang seringkali tidak sesuai dengan peraturan perundangan tentang penataan ruang.

Dalam Undang-undang nomor 26 tahun 2007, tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa garis sempadan pantai sebagai bagian dari kawasan lindung setempat yaitu pasal 5 Ayat (2) huruf b: dengan bunyi : kawasan perlindungan setempat, antara lain, SEMPADAN PANTAI, sempadan sungai, kawasan sekitar danau / waduk, dan kawasan sekitar mata air.

Kemudian dalamUndang-undang 27 th 2007 tentag Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Pasal 1 angka 21 :

Sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Kemudian PP no 26 th 2008 tentang RTRW Nasional menyebutkan pada Pasal 56 Ayat (1):

Sempadan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Ayat (2) huruf a ditetapkan dengan kriteria:

a. daratan sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 m dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat; atau

b. daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai.

Pasal 31 :

(1) Pemerintah Daerah menetapkan batas sempadan pantai yang disesuaikan dengan karakteristik topografi, biofisik, hidro-oseanografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya, serta ketentuan lain.

(2) Penetapan batas sempadan pantai mengikuti ketentuan : a. Perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami; b. Perlindungan pantai dari erosi atau abrasi; c. Perlindungan sumberdaya buatan di pesisir dari badai, banjir, dan bencana alam lainnya; d. Perlindungan terhadap ekosistem pesisir seperti lahan basah, mangrove, terumbu karang, padang lamun, gumuk pasir, estuaria, dan delta; e. Pengaturan akses publik; serta f. Pengaturan untuk saluran air dan limbah.

 

Ketentuan tersebut telah diakomodir dalam Peraturan Daerah Provinsi Banten tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten tahun 2010-2030, yang menegaskan bahwa daerah sempadan pantai berada 200 meter dari garis pantai tertinggi ke arah darat.

Dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundangan tersebut dalam rangka mitigasi bencana maka ada beberapa hal penting dalam pengaturan tata ruang di wilayah pesisir rawan tsunami seperti tergambar dalam ilustrasi berikut :

Gambar 5. Empat langkah antisipasi bahaya tsunami (Subandono, 2014)

Dalam penataan ruang wilayah pesisir rawan tsunami juga dapat diterapkan hal beberapa hal sebagai berikut :

  1. Wilayah pesisir atau pantai yang memiliki kawasan dataran tinggi, dapat dimanfaatkan sebagai area evakuasi, namun kawasan kepulauan kecil sering tidak memilikinya, sehingga dibutuhkan bangunan buatan manusia (artificial building) untuk perlindungannya.
  2. Bangunan shelter yang ada dibuat bertingkat untuk wadah evakuasi. Dalam keadaan normal, lokasi inti dapat digunakan untuk sekolah dan keperluan warga lokal.
  3. Untuk kondisi yang terpencil seperti pulau pulau kecil, dapat dibuat bangunan perlindungan dari bahan lokal seperti pohon kelapa sebagai pilarnya dengan ketinggian tertentu dengan luas bangunan disesuaikan dengan areal yang tersedia dan berada ditengah tengah atau dekat dengan lingkungan permukiman.
  4. Bangunan lain yang dapat didirikan adalah tembok laut dan tanggul pantai, sebagai contoh Kota Padang menggunakan tembok pantai sejajar dengan garis pantai dan susunan batuan yang menjorok kelaut sebagai penahan gelombang.
  5. Selain itu dapat dilakukan dengan memanfaatkan tripod sebagai pemecah gelombang laut (break water) serta mengurangi tekanan terhadap kawasan pantai serta pintu penahan tsunami di mulut muara sungai.
  6. Disamping itu terdapat usaha lain yang bersifat preventif dan non fisik yakni dengan menerapkan zonasi penataan kawasan pantai dan penataan ruang kota/wilayah yang ramah terhadap bencana tsunami, melakukan relokasi pemukiman dan penanaman bakau serta perlindungan terhadap hutan bakau

 

Literatur :

  1. BBC Indonesia – Detik News, 2018 : Gunung Anak Krakatau Masuki Fasa Baru Mematikan;
  2. Subandono, 2014,  Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K)/ Rencana Tata Ruang Berbasis Mitigasi Bancana, Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kemeterian Perikanan dan Kelautan;
  3. CB. Herman Edyanto, 2011, Analisa Kebijakan Penataan Ruang Kawasan Pesisir Rawan Tsunami, Pusat Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Lahan Wilayah dan Mitigasi Bencana, BPPT.

 


Share this Post