Minimalisir Dampak Gempa

Sumber Gambar :

Minimalisir Dampak Gempa

ESDM Buat Peta Zonasi Mitigasi Gempa Bumi

Untuk meminimalkan dampak dari kejadian bencana gempa bumi, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten melalui Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan serangkaian kegiatan mitigasi. Sesuai dengan Undang-Undang (UU) nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, langkah yang dilakukan antara lain meliputi penyediaan, penyelidikan, pengelolaan data dan informasi kebencanaan geologis serta sosialisasi kepada masyarakat dan aparat setempat yang bermukim dan beraktivitas di kawasan rawan bencana gempa bumi. 

Kejadian gempa bumi sering dirasakan oleh masyarakat Provinsi Banten. Hal ini terjadi akibat konsekuensi kondisi tektonik wilayah Provinsi Banten yang terletak dekat dengan tumbukan antara Lempeng Samudera Hindia-Australia dan Lempeng Benua Eurasia yang berjarak sekitar 200 km dari pantai selatan Provinsi Banten. Tumbukan antar lempeng tersebut mengakibatkan terbentuknya zona subduksi dan sesar aktif yang merupakan sumber gempa bumi. 

Sumber gempa bumi di laut dapat memicu terjadinya bencana tsunami apabila gempa bumi tersebut magnituda besar dan terjadi dislokasi pada morfologi dasar laut. Wilayah Provinsi Banten merupakan salah satu wilayah rawan bencana gempa bumi di Indonesia (Supartoyo & Surono, 2008) dengan nilai percepatan gempa bumi pada batuan dasar berkisar antara 0,05g - 0,2g (Irsyam dkk, 2010). Satuan g merupakan singkatan dari gravitasi (m/det2). Disamping itu wilayah pantai Banten bagian selatan juga rawan bencana tsunami.

Wilayah Provinsi Banten sering terjadi gempa bumi dan beberapa kejadian gempa bumi tersebut bersifat merusak (destructive earthquake). Disamping itu wilayah Provinsi Banten juga rawan terhadap bahaya tsunami. Sumber pembangkit tsunami (tsunamigenic) berasal dari aktivitas Gunung Krakatau di Selat Sunda dan dari zona subduksi  yang terdapat di bagian selatan Pulau Jawa. Bencana tsunami pernah melanda wilayah Selat Sunda pada tahun 1883 akibat letusan Gunung Krakatau mengakibatkan korban jiwa sekitar 36.000. 

Kejadian gempa bumi dan tsunami hingga kini belum dapat diramalkan kapan, dimana dan berapa besar magnituda yang akan terjadi. Oleh karena itu upaya terbaik penanggulangannya adalah melalui upaya mitigasi. Menurut UU nomor 24 tahun 2007 upaya mitigasi dapat dilakukan secara struktural atau fisik yaitu dengan membuat bangunan fisik dan mitigasi secara non struktural atau non fisik yaitu upaya selain dengan membuat bangunan fisik dengan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan penduduk dalam menghadapi bencana. Salah satu upaya mitigasi secara non struktural adalah dengan membuat peta rawan bencana geologi dan sosialisasi kepada masyarakat yang bermukim di wilayah rawan bencana dan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan kebencanaan. 

Pemetaan mitigasi kegempaan dilakukan dengan cara pengamatan geologi, pendataan dan pengukuran perioda dan frekwensi tanah setempat berdasarkan pengukuran mikrotremor. Data tersebut akan dipergunakan untuk menganalisis nilai amplifikasi tanah guna menentukan tingkatan kerawanan gempa bumi. Tujuannya adalah  mengidentifikasi wilayah rawan terhadap goncangan gempa bumi berdasarkan sebaran nilai amplifikasi sebagai data dasar kebencanaan gempa bumi. Identifikasi tersebut dituangkan dalam bentuk peta mikrozonasi gempa bumi. 

Upaya mitigasi tersebut di antaranya dengan melakukan kegiatan pemetaan mitigasi kegempaan geologi di beberapa wilayah rawan gempabumi. Peta tersebut diharapkan dapat berguna sebagai salah satu upaya mitigasi bencana gempa bumi untuk keperluan data dasar informasi kebencanaan gempa bumi, sosialisasi, analisis risiko gempa bumi, penyusunan dokumen rencana kontinjensi, dan lain-lain. Disamping itu peta yang dihasilkan dapat dipergunakan sebagai masukan pada perencanaan penataan ruang. Beberapa tahapan yang dilakukan dalam pengukuran mikrotemor adalah, tahap persiapan, kegiatan lapangan, analisis data, dan penyusunan laporan


Share this Post