Investasi versus Divestasi dalam Industri Tambang dan Energi

Sumber Gambar :

Oleh :Wajid Nuad

Dalam teori finansial dan ekonomi, divestasi adalah pengurangan beberapa jenis aset baik dalam bentuk finansial atau barang, dapat pula disebut penjualan dari bisnis yang dimiliki oleh perusahaan. Ini adalah kebalikan dari investasi. Dalam industri tambang nasional, ada beberapa kasus divestasi, namun persoalannya divestasi biasanya tak lebih dari 25 persen.

Contoh kasus, disekitar tahun 2011, misalnya, divestasi saham PT Newmont Minahasa. Bayangkan, hanya 24 persen saham Newmont dimiliki perusahaan lokal dan itu pun dibagi bersama tiga Pemda, sementara mereka berharap 7 persen saham divestasi terakhir Newmont bisa mengedepankan kepentingan pemerintah dan masyarakat daerah.

Memang pemerintah telah mengatur dalam PP Minerba (Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara). Pasal 97 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara mengatur soal divestasi saham perusahaan tambang asing yang beroperasi di Indonesia.

Disebutkan dalam pasal tersebut, modal asing pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) setelah 5 tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya, sehingga sahamnya paling sedikit 20 persen dimiliki peserta Indonesia.

Apakah kepemilikan tersebut cukup berarti, mengingat saham minoritas tidak memberikan kendali atas perseroan? Praktisi hukum Ahmad Fikri Assegaf pernah mengatakan, dari segi hukum dan komersial, hal semacam itu menjadi perbedaan yang sangat mendasar. Pasalnya, Kontrak Karya yang dulu diberikan Pemerintah, mewajibkan divestasi bertahap sampai dengan 51 persen. 

Benarkah kepemilikan saham 20 persen bisa efektif untuk membangkitkan pengusaha lokal, atau hanya sekadar basa-basi agar terkesan ada keturut-sertaan pengusaha lokal dalam industri pertambangan?

Divestasi yaitu memberikan kesempatan kepada pihak Indonesia untuk berpartisipasi pada perusahaan tambang yang telah memasuki tahap produksi. Divestasi bukan sesuatu yang baru di industri pertambangan. Kontrak Karya pada umumnya mewajibkan divestasi bertahap sampai dengan 51 persen. Berbagai peraturan penanaman modal asing juga mewajibkan divestasi setelah melalui jangka waktu atau tahapan tertentu.

Di sisi lain, memang bagi investor asing, investasi di atas 80 persen bisa jadi kurang menarik karena ada kewajiban divestasi pula. Namun ini harus dilakukan pemerintah dan harus terus memperbarui PP Minerba. Karena bagaimanapun kepentingan nasional harus lebih didahulukan ketimbang kepentingan asing dan segelintir kelompok pemodal (investor asing).

Dalam kasus Newmont, misalnya, siapakah pemilik saham 51 persen pabrik tambang besar di NTB tersebut? Perusahaan lokal, pemerintah pusat dan daerah terkesan hanya memperebutkan 7 persen saham, bukankah PT Newmont beroperasi di bumi Indonesia?

Belum lagi bicara risiko ekologis yang sudah pasti ada dari hasil pengerukan dan eksploitasi besar-besaran di sana, mirip dengan kasus Freeport di Papua. Tanah dikeruk dan dieksploitasi sedemikian rupa, seakan tanpa melihat dampak ekologis bagi bumi Indonesia. Banyak mantan pejabat kita yang mengkritik keras perusahaan-perusahaan tambang seperti Newmont atau Freeport.

Prof. Amien Rais, misalnya, yang menganggap perlu ada renegosiasi kepemilikan saham di perusahaan-perusahaan itu, supaya perusahaan asing tak terlalu mendominasi atau terkesan mendikte pemerintah.

Perdebatan dikalangan pemikir ekonomi Indonesia menyebutkan, mengapa sumber daya mineral dan tambang kita terkesan “dikuasai” asing? Karena Sumber Daya Manusia di Indonesia belum cukup untuk mempergunakan kekayaan itu sebaik-baiknya, sehingga akhirnya orang asing lah yang mengambil alih.

Pikiran seperti itu sekarang harus disingkirkan jauh-jauh, karena sebetulnya itu bisa diatas dengan political will dari pemerintah. Misalnya, jika memang SDM kurang cukup memadai mengapa kita tak menggandeng orang asing, tapi kita lah yang harus mengendalikan mereka. Bukan sebaliknya, menyerahkan pada asing dan mereka yang mengendalikan kita.

Indonesia dalam hal itu memang mengalami krisis, bukan saja krisis SDM, namun juga krisis ekologis yang kadung sudah terjadi akibat eksploitasi bumi nan subur namun tak diimbangi dengan penilaian environmentalisme. Namun kita yakin masih ada secercah harapan untuk memperbaiki segala kondisi yang ada.

Nampaknya, bangsa ini harus belajar dari bangsa Jepang, misalnya, yang meskipun pada perang dunia ke-II diluluhlantakan oleh nuklir, namun tidak menjadi pesimistik. Akan tetapi menjadi arus-balik dan justru semakin memiliki ambisi untuk menggali pengetahuan dan teknologi. Pada dasawarsa 90-an, harapan itu sudah teraktualisasi secara telanjang dan menyeluruh. Jepang menjadi “macan” Asia yang disegani. Pertumbuhan ekonomi dan sosial terus melaju, kompetisi teknologi bersama negara-negara maju semakin mendapatkan bargainnya, Jepang menjadi salahsatu negara berperadaban dan berkebudayaan tinggi (high culture).

Paling tidak ada tiga modal dasar untuk menyongsong harapan dari keterpurukan bangsa ini karena terkesan terlalu didikte bangsa lain, kita harus mencontoh bangsa Jepang.

Pertama mesti memiliki mental dan moral yang baja dan luhur, sebab tak akan mungkin suatu bangsa dapat membalikan arus-balik sejarah itu tanpa ada memiliki mental yang baja dan moral yang luhur. Moral yang luhur, misalnya, diejawantahkan dengan kedisiplinan, pengabdian dan pengorbanan untuk mendahulukan kepentingan bersama, tidak korup dan sebagainya.

 

Kedua, harus banyak belajar dari pengalaman sejarah dan belajar pada bangsa-bangsa lain yang maju untuk mengejar ketertinggalan itu. Belajar dari sejarah kemudian menjadi otokritik, sementara belajar dari bangsa maju menjadi instrumen ekstrospeksi (instrospeksi ke depan), untuk menatap masa depan mesti dikemanakan kemudi bangsa ini hendak diarahkan. Dan ketiga harus ada willing atau kemauan kuat baik dari pemerintah dan kita sebagai bangsa.

Tantangan ke depan bagi bangsa ini yang paling utama adalah bagaimana menyingkirkan sifat keserakahan, korup dan mementingkan diri. Sifat-sifat itu merupakan penyakit kronis yang akut yang dimiliki bangsa ini. Sebab tak akan mungkin bangsa ini menjadi bangkit, jika sifat-sifat itu masih terus menggelayuti.

Bangsa ini akan terus menjadi “bangsa pengemis” jika semua sifat itu belum dihilangkan. Bangsa ini harus kembali pada falsafah-falsafah bangsa yang mulia itu, sebab dalam falsafah itu terdapat harapan yang mungkin belum terimplementasikan. Maka tugas kita sebagai generasi penerus adalah melanjutkan perjuangan untuk mewujudkan falsafah yang belum terimplementasi itu.

Indonesia sudah lelah dengan uji coba dan bahan eksperimentasi para elit pemerintahan, kita menginginkan sesuatu yang komprehensif dan konkret dalam penyelesaian seluruh krisis. Kita semua harus menghentikan skenario-skenario jahat yang akan diperbuat. Maju-tidaknya bangsa ini bergantung willing pemerintah dan mungkin juga kita sebagai penghuninya.


Share this Post