FORMASI CIKOTOK; TEMPAT TERJADINYA MINERALISASI LOGAM MULIA

Sumber Gambar :

FORMASI CIKOTOK; TEMPAT TERJADINYA MINERALISASI LOGAM MULIA

Oleh : Tata Henda

 

Hampir setiap orang mengenal nama Cikotok, setidaknya pernah membaca di buku pelajaran Geografi atau Ilmu Pengetahuan Sosial di SD maupun SMP. Cikotok adalah daerah dimana terdapat pertambangan emas yang berlangsung sejak zaman kolonial Belanda. Namun sejak 12 tahun yang lalu pertambangan ini sudah ditutup karena dianggap tidak ekonomis lagi untuk ditambang. Tapi benarkah memang sudah habis cadangannya?... Ternyata tidak begitu, karena sampai saat ini eksplorasi di tempat-tempat yang batuannya sama dengan di sekitar Cikotok masih terus diupayakan oleh beberapa perusahaan swasta dan bahkan para penambang liar dalam jumlah ratusan masih bertebaran di kawasan penyebaran batuan ini yang sebagian berada di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

Mineralisasi atau proses pemineralan emas primer berlangsung pada jenis batuan tertentu dan dalam kondisi tertentu pula. Dari semua lokasi pertambangan di seluruh dunia, mineralisasi emas hampir selalu berkaitan erat dengan proses magmatis dan vulkanis. Jadi dapat dipastikan bahwa di suatu daerah yang mengalami kegiatan magmatis dan vulkanis sepanjang masa proses geologinya, maka daerah tersebut akan kaya dengan kandungan emas sebagai native element (Au). Tidak hanya itu, emas juga biasa terasosiasi dengan mineral logam lainnya sebagai mineral ikutan terutama perak (Ag) dan logam dasar seperti tembaga (Cu), timbal (Pb), seng (Zn) dan mangan (Mn). Begitupun bisa sebaliknya ketika emas menjadi mineral ikutan dari logam dasar (biasanya tembaga) seperti terjadi pada awal penemuan bahan galian tambang berskala luar biasa besar di Papua, sehingga dinamakan lokasi tambang Tembagapura.

Batuan tempat kedudukan mineralisasi emas di wilayah Banten, adalah batuan gunung api yang berumur Kuarter, terutama Eosen Akhir hingga Miosen Akhir, yaitu batuan dengan kisaran umur sekitar 40 juta hingga 5 juta tahun yang lalu. Batuan-batuan tersebut terdiri atas 3 (tiga) kelompok batuan, dikenali dengan nama kelompok batuan Andesit Tua (Koolhoven,1933) atau Formasi Cikotok (Sudjatmiko, 1988), Formasi Cimapag (Koolhoven,1933; Van Bemmelen, 1949; Marks,1956 dan Sudjatmiko,1988) dan Formasi Honje (D. Sudana, dkk.,1988). Formasi Cimapag diklasifikasikan sebagai batuan sedimen, akan tetapi banyak mengandung material yang dihasilkan oleh aktifitas gunung api. 

Mineralisasi emas pada kelompok batuan tersebut bisa terjadi melalui rangkaian proses yang didahului dengan adanya aktifitas magmatis yang menerobos tubuh batuan tersebut. Saat penerobosan terjadi, batuan sekitarnya terpapar panas dengan temperatur tinggi sehingga bisa ikut meleleh atau setidaknya untuk yang tidak bersentuhan langsung bisa mengalami ubahan (alterasi) secara kimia membentuk formula baru, dimana ketika temperaturnya berkurang maka terbentuk mineral atau jenis batuan baru yang lain dengan jenis batuan induknya. Batuan yang baru karena kontak langsung dengan magma yang menerobos tersebut biasa dikenal sebagai batuan metamorf kontak. Sedangkan batuan lainnya yang terpapar panas magma tersebut akan membentuk batuan terubah dengan berbagai tipe.  Pada fasa akhir dari pembekuan magma terbentuk larutan hidrotermal yang kaya silika dengan suhu berkisar antara 300o -500o C.  kemudian cairan panas ini berinteraksi dengan batuan yang diterobosnya sehingga menyebabkan ubahan atau alterasi pada batuan tersebut dan juga melarutkan unsur-unsur logam yang terkandung. Larutan inilah yang pada fasa terakhir membeku bersama unsur-unsur logam tersebut menjadi urat-urat kuarsa dalam berbagai dimensi yang mengadung unsur-unsur logam mulia dan logam dasar berupa native element maupun sebagai senyawa campuran dari bermacam-macam unsur.

Formasi Cikotok dan mineralisasi emas

Para ahli geologi bersepakat bahwa setelah diendapkannya kelompok batuan dari Formasi Bayah, ada satu wilayah yang cukup luas dimana tidak terjadi proses pengendapan batuan dalam waktu yang lama sehingga pada akhir kala Eosen terjadi aktivitas gunung api besar sehingga menghasilkan endapan batuan gunung api menutupi cakupan wilayah cukup luas yang kemudian disebut sebagai Formasi Andesit Tua atau Formasi Cikotok.

Formasi Cikotok (Temv) adalah kelompok batuan yang dinamakan secara resmi sejak tahun 1988, untuk keperluan pembuatan peta geologi bersistem skala 1 : 100.000 pada lembar Leuwidamar (Sudjatmiko, 1988). Sebelumnya kelompok batuan ini disebut sebagai Formasi Andesit Tua (Koolhoven, 1933; dan Bemmelen, 1949). Kelompok batuan yang mempunyai kisaran umur Eosen Atas hingga Miosen Bawah ini secara litologi tersusun dari breksi gunung api, tuf, lava, batuan terubah dan urat kuarsa.

Breksi gunung api, tuf dan lava merupakan batuan hasil letusan gunung api (aktivitas vulkanik) yang berlangsung terus menerus dengan perkirakan kisaran waktu yang sangat lama, berlangsung antara 40 hingga 20 juta tahun lampau. Lingkungan tempat pengendapan kelompok batuan ini adalah lingkungan darat hingga laut dangkal atau submarine yang dicirikan dengan adanya sisipan napal dan lensa batugamping. Wilayah penyebarannya cukup luas meliputi sebagian dari Kecamatan Cihara, Panggarangan, Cigemblong, Bayah, Cibeber dan Cilograng, Kabupaten Lebak.

Proses geologi selanjutnya yang berpengaruh terhadap endapan batuan gunung api Formasi Cikotok adalah aktifitas magmatik yang menerobosnya yang berlangsung mulai akhir Oligosen hingga Miosen Tengah (sekitar 30 – 20 juta tahun yl) dan aktifitas magmatik lainnya yang terjadi pada akhir Miosen (10 hingga 5 juta tahun yl). Hasil aktivitas magmatik tersebut adalah terbentuknya batuan granodiorit yang disebut sebagai Granodiorit Cihara (Tomg), batuan intrusi dasit (Tmda) dan batuan intrusi andesit (Tma).

Ketiga jenis batuan terobosan tersebut dikelompokkan menjadi dua bagian berdasarkan umur, dimana Tomg berumur paleogen (Oligosen atau lebih tua) sementara Tmda dan Tma berumur neogen (Miosen atau lebih muda). Batuan intrusi tersebut, terutama yang berumur neogen dianggap sebagai sumber panas (heat source) yang mengubah batuan sekitarnya dan menghasilkan urat-urat kuarsa mengandung emas, perak dan logam lainnya seperti tembaga, timbal, seng dan mangan. Jadi dalam hal ini bijih mineral logam utamanya adalah  urat kuarsa, sehingga penemuan-penemuan urat kuarsa dalam berbagai kondisi dan dimensi menjadi tujuan dalam eksplorasi mineral logam pada batuan Formasi Cikotok.

Kegiatan Penambangan Emas di sekitar Cikotok

Pertambangan emas di Cikotok sudah dilakukan sejak zaman kolonial Belanda, dimana sejak tahun 1936 telah dilakukan persiapan penambangan menyusul ditemukannya cadangan mineral logam terutama emas setelah eksplorasi dan penelitian selama bertahun tahun sebelumnya. Namun tambang emas ini tidak sempat berproduksi dengan optimal karena pecahnya perang dunia ke dua dimana Jepang sempat menguasai wilayah Indonesia. Pada masa penjajahan Jepang juga tidak sempat berkembang dengan baik, pada saat itu Jepang lebih memusatkan perhatian kepada cadangan bahan galian untuk keperluan perang yaitu timbal yang ada di daerah Cirotan. Selain itu karena diketahui bahwa dari Cikotok terdapat potensi batubara yang cukup baik sehingga dilakukan pengusahaan penambangan batubara sampai harus mengerahkan rakyat dikerjapaksakan sebagai romusha untuk kegiatan persiapan pertambangan tersebut, termasuk untuk membangun jalan kereta api dari Labuan ke Bayah.

Setelah kemerdekaan maka pertambangan emas digarap dengan lebih baik. Saat itu pemerintah menugaskan sebuah perusahan negara, yaitu NV. Tambang Emas Tjikotok untuk melakukan operasi produksi emas dan mineral pengikutnya. Penambangan emas bawah tanah dimulai dalam tahun 1950an dan diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tahun tanggal 12 Juli 1958. Lokasi tambang bawah tanah terbesar berada di Cirotan yang dibuka sejak 1955, sedangkan di sekitar Cikotok, dibangun perkantoran dan pengolahan bijih emas di Pasir Gombong. Pada akhir produksinya tambang emas yang terakhir dikelola PT. Aneka Tambang, melalui satuan Unit Penambangan Emas Cikotok (UPEC) ini membuka lobang tambang Cikidang yang kemudian berproduksi tidak sampai sepuluh tahun dan tidak bisa dikembangkan lagi  sebab lokasi potensi yang cukup besar berada dalam kawasan yang telah ditetapkan sebagai bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

Hingga saat ini masih ada perusahaan pertambangan yang melakukan eksplorasi maupun eksploitasi dalam skala kecil di wilayah sebaran batuan dari Formasi Cikotok ini. Selain itu di lokasi ini juga banyak sekali pelaku penambangan emas tanpa izin (PETI) yang sulit untuk dikendalikan. Dalam melakukan aksinya diduga mereka juga masuk dalam kawasan taman nasional, sehingga harus ada langkah-langkah penertiban baik oleh pemerintah, pemerintah daerah dan aparat penegak hukum.  Kemudian untuk menghitung potensi sumberdaya dari mineral logam, khususnya logam mulia yang ada, maka masih diperlukan evaluasi dan kajian yang lebih rinci, sehingga bisa ditetapkan beberapa lokasi Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral logam untuk dapat memberikan kesempatan kepada investor.

Daftar Acuan

  1. Sujatmiko dan S. Santosa 1992, Peta Geologi Lembar Leuwidamar, Jawa skala 1 : 100.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi;
  2. Hedenquist J.W., 1998, Hydrotermal System in Volcanic arc, Origin of and exploration for epitermal Gold Deposit, catatan kursus 13 Mei 1998, PT. Geoservice Bandung;
  3. Sutikno Bronto, 2012, Geologi Gunung Api Purba, publikasi khusus, Badan Geologi Bandung;
  4. Tata Henda, 2014, Potensi Geowisata di Provinsi Banten, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Banten.

Share this Post