DESA GEOWISATA SAWARNA

Sumber Gambar :

 

DESA GEOWISATA SAWARNA

( oleh : Tata Henda )

Geowisata adalah kegiatan pariwisata yang memanfaatkan seluruh aspek geologi seperti; fosil, mineral, batuan, air, dan proses, serta semua aspek abiotik (Budi Brahmantyo, 2004). Beberapa tempat wisata alam yang selama ini dikenal, dapat dimasukkan ke dalam kategori geowisata, cotohnya adalah; pantai, gunung api, air terjun, goa karst, ngarai dll., karena lokasi-lokasi tersebut sangat berkaitan erat dengan dinamika proses geologi yang berlangsung sejak ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu.

Sawarna adalah sebuah desa di Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Desa ini sejak tahun1994 dikenal sebagai desa wisata yang mengandalkan keindahan panorama alam pantai dan pesisir. Akan tetapi dalam hal nama, “Sawarna” sampai sekarang belum diketahui secara pasti sejak kapan digunakan untuk kawasan ini. Yang jelas bahwa, sejarah pembukaan kawasan dimulai sejak tahun 1907 ketika seorang berkebangsaan Belanda membuka kawasan hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa seluas 54 hektar. Pionir itu bernama Louis van Gogh (salah seorang saudara sepupu dari Vincent van Gogh yang dikenal sebagai salah seorang maestro seni rupa dunia), dia secara kebetulan menemukan lokasi lahan di pesisir yang sangat cocok untuk perkebunan kelapa. Jadi wilayah ini mulai dihuni sejak adanya perkebunan tersebut dengan penduduk awalnya adalah para pekerja perkebunan kelapa mulai tingkat pimpinan, mandor hingga buruh. Pekerja perkebunan lebih banyak didatangkan dari luar daerah, terutama dari Jawa Barat, Jawa Tengah hingga Jawa Timur, karena di daerah sekitar perkebunan  masih berupa hutan lebat sehingga penduduknya masih sangat terbatas.

Dalam hal asal kata “Sawarna” masih terdapat beberapa pendapat, diantaranya berasal dari nama tokoh masyarakat pertama di kawasan tersebut, yaitu Suwarna. Sawarna juga banyak yang mengartikan satu warna sebagai cerminan dari persatuan dan kesatuan masyarakat Sawarna yang berbagai dari berbagai suku bangsa itu. Sedangkan pendapat lain menyebutkan bahwa kata tersebut berasal dari bahasa Sansekerta “Swarna” yang berarti emas seperti diungkapkan oleh seorang pakar geowisata (T. Bachtiar, 2011).

Desa Sawarna merupakan salah satu desa yang berada di daratan dan pesisir selatan Kabupaten Lebak menghadap ke laut lepas Samudera Hindia dengan panjang garis pantai sekitar 10 km. Menurut keadaan geologinya pantai Sawarna terbagi dalam 3 jenis kelompok batuan dengan distribusi hampir sama. Di bagian barat mulai dari pantai dan daratan sekitar Pulomanuk, Karangbokor  sampai dengan Taman Goa Langir tersusun oleh endapan batugamping sehingga tepian pantainya berupa tebing dengan relief sedang hingga terjal. Di bagian tengah endapan alluvium yang berupa teluk cukup luas dikenal sebagai teluk Ciantir membentuk morfologi pedataran pantai dengan pasir halus-sedang berwarna putih.  Sedangkan di bagian timur mulai dari Tanjunglayar hingga Karangtaraje batuan penyusun terdiri atas endapan sedimen klastika dan piroklastika yang cukup keras sehingga tepi pantainya pun terdiri atas tebing berrelief sedang hingga curam, kecuali di antara Karangbeureum dan Karangtaraje dimana terdapat morfologi landai berpasir putih yaitu pantai Legonpari.

Selain wisata pantai, Sawarna juga memiliki wisata yang berada jauh dari pantai seperti perbukitan, goa karst dan air terjun, masing-masing Bukit Senyum, Pasir Tangkil, Goa Lalay dan Curug Cisujen. Lokasi-lokasi ini selain Goa Lalay, pengelolaan dan akses jalannya masih belum mamadai, sedangkan Goa Lalay sudah dikelola meskipun masih perlu peningkatan.

Dengan konsep geowisata lokasi-lokasi wisata yang ada di Sawarna bisa lebih dikembangkan, yaitu dengan memperkenalkan aspek geologi pada lokasi lokasi tersebut, diantaranya pengunjung akan diberikan informasi tambahan mengenai lokasi-lokasi wisata yang dikunjunginya dalam hal keterangan proses geologi yang menjadi asal usul lokasi tersebut sehingga berupa yang terlihat sekarang. Informasi yang disampaikan bisa melalui pemandu wisata yang telah menjalani training khusus geowisata yang diselenggarakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, atau paling tidak dengan dibuatnya papan informasi geologi di lokasi-lokasi wisata tersebut. Untuk hal yang kedua, Pemerintah Provinsi Banten melalui Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral telah mulai melakukan pengadaan papan informasi tersebut diawali dengan pemasangan papan informasi geologi di Karangtaraje, Tanjunglayar dan Karangbokor.

Karangtaraje berada di sebuah pantai yang disebut Legonpari pada posisi geografis 06o 59’ 29,0” LS dan 106o 19’ 41,0” BT. Secara administratif termasuk wilayah Dusun Leles, Desa Sawarna, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Nama Karangtaraje dikenal berdasarkan bentuk karang yang menyerupai tangga (Bahasa Sunda = Taraje).

 

Gambar 2. Searah jarum jam dari kiri atas: Foto drone Karangtaraje (Ronald Agusta), beberapa lansekap batuan di Karangtaraje dan papan informasi geologi yang sudah terpasang (foto penulis

 

 

Menurut peta geologi regional, Karang termasuk dalam tatanan geologi yang kompleks, disebut sebagai “Kubah Bayah” tersusun oleh formasi-formasi batuan, terutama terdiri atas berbagai jenis batuan sedimen dan  batuan beku yang berkembang sejak Kala Eosen atau sekitar 50 juta tahun yag lalu. Batuan penyususn Karangtaraje termasuk Formasi Cimapag (Sudjatmiko, 1991) dengan proses pembentukan sebagai berikut :

Pada awal Kala Miosen atau sekitar 20 juta tahun yang lalu, terjadi pengendapan bahan sedimen klastika kasar sampai halus di lingkungan lereng dasar laut yang curam. Karena kecuraman tersebut maka material yang terendapkan terbagi menjadi material kasar dan material halus dimana material kasar karena gaya grafitasi akan mengendap lebih dulu, sehingga endapan yang terbentuk bersusun dari kasar di bagian bawah sampai halus di bagian atasnya. Pengendapan yang berlangsung selama jutaan tahun, membentuk lapisan-lapisan sedimen yang berulang berupa konglomerat, batupasir, lanau hingga batulempung. Pada bagian atas dari batuan yang tersingkap di lokasi ini terdapat breksi yang berkomponen aneka bahan terdiri atas fragmen-fragmen batu andesit, batulempung, batupasir serta batuan terubah dan termineralisasi, hal ini menunjukkan bahwa perlapisan batuan yang ada berasal dari berbagai jenis batuan termasuk batuan gunung api serta proses magmatik yang mengakibatkan terjadinya mineralisasi. Selain itu juga terdapat endapan piroklastik tuf-lapili berbatu apung yang menandakan jejak letusan gunung api besar.

Pada Miosen Tengah, terjadi perlipatan dengan arah timur-barat dan sesar geser dengan arah timurlaut-baratdaya dan sesar turun berarah timur-barat. Kemudian pada akhir Kala Miosen atau sekitar 8-7 juta tahun yang lalu terjadi perlipatan kuat dengan arah umum Barat-Timur,  sesar geser, sesar turun dan sesar naik dengan arah umum baratlaut-tenggara. Akhirnya pada Pliosen Akhir sampai Pleistosen Tengah atau sejak 3 juta tahun yang lalu terjadi pengangkatan yang juga disertai dengan pensesaran. Pada lokasi Karangtaraje, struktur perlipatan dan pensesaran tersebut juga disertai dengan kekar-kekar dan pengerosian terutama oleh gelombang laut yang menyebabkan batuan yang lebih keras menonjol sementara yang lunak lebih terkikis, sedangkan bidang-bidang sesar dan kekar melebar sehingga tubuh batuan terpisah menghasilkan lansekap seperti sekarang.

Tanjunglayar terletak di pantai Ciantir, pada koordinat 06o 59’ 39,7” LS dan 106o 18’ 26,1” BT. Secara administratif termasuk wilayah Dusun Cikawung, Desa Sawarna, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Nama Tanjunglayar dikenal dari bentuk tubuh batu yang berada menjorok ke laut yang menyerupai layar dari sebuah kapal besar.

Menurut peta geologi regional, Tanjunglayar merupakan bagian dari sebuah tatanan geologi yang kompleks, disebut sebagai “Kubah Bayah” tersusun oleh formasi-formasi batuan, terutama terdiri atas berbagai jenis batuan sedimen dan  batuan beku yang berkembang sejak Kala Eosen atau sekitar 50 juta tahun yag lalu. Batuan penyususn Tanjunglayar termasuk Formasi Cimapag yang berumur Miosen (Sudjatmiko, 1991) dengan proses pembentukan sebagai berikut :

Pada awal Kala Miosen atau sekitar 20 juta tahun yang lalu, terjadi pengendapan bahan sedimen klastika kasar sampai halus di lingkungan lereng dasar laut yang curam. Karena kecuraman tersebut maka material yang terendapkan terbagi menjadi material kasar dan material halus dimana material kasar karena gaya grafitasi akan mengendap lebih dulu, sehingga endapan yang terbentuk bersusun dari kasar di bagian bawah sampai halus di bagian atasnya. Pengendapan yang berlangsung selama jutaan tahun, membentuk lapisan-lapisan sedimen yang berulang berupa konglomerat, batupasir, lanau hingga batulempung.

 

Gambar 3. Searah jarum jam dari kiri atas: Foto drone Tanjunglayar (Ronald Agusta), beberapa lansekap batuan di Tanjunglayar dan papan informasi geologi yang sudah terpasang (foto penulis).

 

Pada Miosen Tengah, terjadi perlipatan dengan arah timur-barat dan sesar geser dengan arah timurlaut-baratdaya dan sesar turun berarah timur-barat. Kemudian pada akhir Kala Miosen atau sekitar 8-7 juta tahun yang lalu terjadi perlipatan kuat dengan arah umum Barat-Timur,  sesar geser, sesar turun dan sesar naik dengan arah umum baratlaut-tenggara. Akhirnya pada Pliosen Akhir sampai Pleistosen Tengah atau sejak 3 juta tahun yang lalu terjadi pengangkatan yang juga disertai dengan pensesaran. Pada lokasi Tanjunglayar, struktur perlipatan dan pensesaran tersebut juga disertai dengan kekar-kekar dan pengerosian terutama oleh gelombang laut yang menyebabkan batuan yang lebih keras menonjol sementara yang lunak lebih terkikis, sedangkan bidang-bidang sesar dan kekar melebar sehingga tubuh batuan terpisah menghasilkan lansekap seperti sekarang.

 

Karangbokor berada pada koordinat 06o 58’ 40,7” LS dan 106o 16’ 43,5” BT. Secara administratif termasuk wilayah Dusun Cihaseum, Desa Sawarna, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Nama Karangbokor dikenal dari bentuk tubuh batu karang menyerupai bokor (mangkuk) yang berada terpisah dari daratan membentuk sebuah pulau kecil sendiri.

Menurut peta geologi regional, Karangbokor merupakan bagian dari sebuah tatanan geologi yang kompleks, disebut sebagai “Kubah Bayah” tersusun oleh formasi-formasi batuan, terutama terdiri atas berbagai jenis batuan sedimen dan  batuan beku yang berkembang sejak Kala Eosen atau sekitar 50 juta tahun yag lalu.

Batuan penyusun Karangbokor termasuk dalam Anggota Batugamping Formasi Citarate yang berumur Miosen (Sudjatmiko, 1991) dengan proses pembentukan sebagai berikut :

Pada awal Kala Miosen atau sekitar 20 juta tahun yang lalu, terjadi pengendapan material karbonat di lingkungan laut, yaitu di lereng dasar laut yang tidak terlalu jauh dari pantai mengarah ke laut lepas. Endapan karbonat yang berasal dari material organic ini penyebarannya berubah sepanjang masa diantaranya tergantung dari kedalaman laut. Di tempat yang  dalam terumbu karang tumbuh tinggi, sedangkan di laut yang agak dangkal tumbuh melebar.

 

Gambar 4. Searah jarum jam dari kiri atas: Foto drone Karangbokor (Ronald Agusta), beberapa lansekap batuan di Karangbokor dan papan informasi geologi yang sudah terpasang (foto penulis).

 

Pada Miosen Tengah, terjadi perlipatan dengan arah timur-barat dan sesar geser dengan arah timurlaut-baratdaya dan sesar turun berarah timur-barat. Kemudian pada akhir Kala Miosen atau sekitar 8-7 juta tahun yang lalu terjadi perlipatan kuat dengan arah umum Barat-Timur,  sesar geser, sesar turun dan sesar naik dengan arah umum baratlaut-tenggara. Akhirnya pada Pliosen Akhir sampai Pleistosen Tengah atau sejak 3 juta tahun yang lalu terjadi pengangkatan yang juga disertai dengan pensesaran. Pada lokasi Karangbokor dan sekitarnya, struktur pensesaran terlihat dari kelurusan tebing berarah hampir utara-selatan serta dijumpainya breksiasi batugamping sekitar bidang sesar seperti yang terlihat pada tebing pantai Goa Langir, di sebelah timur dari lokasi Karangbokor. Pada bidang lemah struktur sesar dimana berkembang retakan disertai hantaman gelombang Samudera Hindia, lama kelamaan mengakibatkan terpisahnya sebagian tubuh batukarang dari daratan utama sehingga terbentuk pulau terpisah yang dinamai Karangbokor.

Di lokasi-lokasi wisata lain yang ada di Desa Sawarna juga bisa dibuat papan informasi geologi serupa sebagai awal pengembangan kegiatan geowisata dan sebaiknya dilanjutkan dengan menyelenggarakan penyertaan diklat geowisata bagi pemandu wisata Desa Sawarna termasuk para pengemudi ojek yang saat ini hampir semuanya merangkap sebagai pemandu wisata di Sawarna.

Dengan diawalinya pemasangan papan informasi geologi tersebut, maka Desa Sawarna mulai merintis penyelenggaraan geowisata yang selanjutnya akan menjadi bagian penting bagi langkah pengembangan geopark (taman bumi) di wilayah Provinsi Banten.

 

Daftar Pustaka

  • Tata Henda, 2013, Potensi Geowisata di Provinsi Banten, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Banten;
  • Sutikno Bronto, 2012, Publikasi Khusus, Geologi Gunung Api Purba, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Bandung;
  • Sudjatmiko, dkk., 1992, Peta Geologi Bersistem skala 1 : 100.000, Lembar Leuwidamar, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung.

Share this Post